DPR Harus Akomodasi Pandangan Ormas Keagamaan dalam RUU HIP

oleh
oleh
Sekjen DPP PPP, Arsul Sani.

JAKARTA, REPORTER.ID – Disetujuinya RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) sebagai RUU inisiatif DPR pada masa sidang lalu telah mendapat respon baik berupa masukan maupun kritik dari sejumlah organisasi Islam dan elemen masyarakat sipil lainnya.

Sekjen PPP, Arsul Sani, yang juga Wakil Ketua MPR RI lewat keterangan terulisnya, Sabtu (13/6/2020) menyampaikan apresiasi dan ucapan terima kasih atas semua respon dari berbagai ormas keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah dan lain-lain.

Menurutnya, semua respon itu menunjukkan bahwa ummat Islam ingin menjaga Pancasila sebagai dasar, idiologi dan falsafah negara yang sudah disepakati pada saat NKRI ini didirikan. Oleh karena itu, PPP mengajak kepada semua kekuatan politik di DPR agar hasil akhir pembahasan RUU HIP nantinya tidak mereduksi pemahaman dan penafsiran Pancasila kembali ke konsep dan pemikiran yang diperdebatkan pada masa ketika para pendiri bangsa menyiapkan kemerdekaan Indonesia.

PPP akan menjadikan respon dari ormas-ormas keagamaan itu sebagai bagian utama dari sikap dan pandangan politiknya dalam pembahasan RUU HIP nanti. Arsul ingin menekankan bahwa RUU HIP itu belum disahkan dan menjadi UU. Bahkan tahapan pembahasan substansi-nya belum dimulai, karena Pemerintah masih menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang akan menjadi bahan pembahasan.

Dalam menyusun DIM ini, PPP telah mendesak Pemerintah agar tidak hanya meminta masukan dari kementerian dan lembaga terkait, tetapi juga dari ormas keagamaan dan elemen masyarakat sipil lainnya mengingat sensitivitas dan potensi RUU ini untuk memunculkan politik identitas baru di tengah-tengah masyarakat kita.

Di internal DPR sendiri, PPP dan sejumlah fraksi telah memberikan catatan ketika RUU itu disetujui untuk dibahas sebagai inisiatif DPR. Oleh karena itu menurut Arsul Sani, jangan ada anggapan bahwa apa yang ada dalam RUU HIP itu nanti pasti disahkan. Dimana dalam pembahasan, isi dan substansi RUU HIP sangat terbuka untuk berubah.

Terkait dengan Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menjadi landasan hukum larangan penyebaran paham dan ajaran komunisme, marxisme dan leninisme, maka PPP akan bersama fraksi-fraksi yang sepaham agar masuk kedalam konsideran maupun penjelasan undang-undang tersebut nantinya.

PPP sendiri berpandangan bahwa RUU tersebut mestinya cukup fokus pada pengaturan eksistensi, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) BPIP sebagai organ pemerintah untuk melakukan pembinaan idiologi Pancasila. Oleh karena itu, PPP meminta RUU tsb tidak masuk secara mendalam dengan mengatur substansi yang pada akhirnya justru menjadi kontroversi baru tentang tafsir atau pemahaman Pancasila.

Lebih lanjut, Arsul mengakui bahwa dikalangan para ahli hukum dan ilmu perundang-undangan sebagian materi RUU HIP ini juga dikritisi soal tepat-tidaknya diatur sebagai materi muatan undang-undang. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *