Presiden Jokowi : Yang Korupsi Dana Covid-19, Gigit Saja

oleh
oleh
Presiden RI Joko Widodo.

JAKARTA, REPORTER.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh lembaga pengawas dan aparat penegak hukum untuk mengawasi secara ketat penggunaan anggaran penanganan dan pemulihan dampak dari wabah vorus corona atau Covid-19. Dia meminta jika ada yang berani menyelewengkan anggaran itu agar ‘digigit’ habis.

Dijelas Kepala Negara, pemerintah menganggarkan dana Rp677,2 triliun untuk percepatan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Anggaran yang sangat besar itu, pemanfaatannya harus semaksimal mungkin.

“Angka ini Rp 677,2 triliun adalah jumlah yang sangat besar. Oleh sebab itu tata kelolanya harus baik, sasarannya harus tepat, prosedurnya harus sederhana dan tidak berbelit-belit. Output dan outcome-nya harus maksimal bagi kehidupan seluruh rakyat Indonesia,” tegas Presiden Jokowi saat membuka Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2020 secara virtual, Senin (15/6/2020).

Dalam acara tersebut, Jokowi mengajak seluruh lembaga pengawasan yakni BPKP, BPK hingga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan Agung, KPK hingga penyidik PNS untuk mengawasi anggaran jumbo tersebut. Presiden berharap, dana tersebut tersalurkan dengan baik kepada masyarakat dan pelaku usaha yang terdampak Covid-19.

“Aspek pencegahan harus lebih dikedepankan. Kita semuanya harus lebih proaktif. Jangan menunggu terjadinya masalah. Jangan menunggu sampai terjadinya masalah. Kalau ada potensi masalah segera ingatkan. Jangan sampai pejabat dan aparat pemerintah dibiarkan terperosok. Bangun sistem peringatan dini, early warning system. Perkuat tata kelola yang baik, yang transparan, yang akuntabel,” pinta Jokowi.

Jokowi mempersilahkan semua lembaga pengawas dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas jika ada oknum yang menyelewengkan dana tersebut. Dia mengingatkan, pemerintah tidak main-main dengan hal tersebut.

“Saya ingin tegaskan bahwa pemerintah tidak main-main dalam hal akuntabilitas. Pencegahan harus diutamakan, tata kelola yang baik harus didahulukan. Tapi kalau ada yang masih bandel, kalau ada niat untuk korupsi, maka silakan bapak ibu digigit dengan keras. Uang negara harus diselamatkan. Kepercayaan rakyat harus terus kita jaga,” tegasnya.

Namun Jokowi juga mengingatkan kepada para lembaga pengawas dan aparat penegak hukum agar tidak ‘menggigit’ orang yang tidak salah, supaya mereka bekerja tanpa dibebani rasa takut.

“Tetapi juga saya ingatkan jangan menggigit orang yang tidak salah. Jangan menggigit yang tidak ada mens rea (itikad jahat). Juga jangan menyebarkan ketakutan kepada para pelaksana dalam menjalankan tugasnya. BPKP, inspektorat dan juga LKPP adalah aparat internal pemerintah, harus fokus ke pencegahan dan perbaikan tata kelola. Selain itu kerja sama sinergi dengan lembaga-lembaga pemeriksa eksternal BPK terus dilakukan. Demikian juga sinergi antar aparat penegak hukum, kepolisian, Kejaksaan, KPK juga harus dilanjutkan,” pinta Jokowi.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan anggaran program pemulihan ekonomi nasional (PEN) sebesar Rp 677,2 triliun hingga akhir 2020. Besaran angka itu juga sudah disetujui Jokowi dalam sidang kabinet paripurna.

Dengan disetujui anggaran tersebut, Sri Mulyani bilang pemerintah akan merevisi Perpres Nomor 54 Tahun 2020 yang sudah diterbitkan dan dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Karena dalam Perpres awal lebih fokus pada krisis bidang kesehatan dan bansos kepada masyarakat, serta bagian ketiga mengenai ekonomi dan keuangan serta pemulihannya akan tertuang dalam revisi perpres ini,” kata Sri Mulyani dalam video conference, Jakarta, Rabu (3/6/2020).

Anggaran PEN kali ini juga lebih besar dibandingkan yang tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2020, yaitu sekitar Rp 641,17 triliun. Dalam program PEN, Sri Mulyani mengatakan ada empat modalitas berbentuk belanja dalam menanggulangi dampak COVID-19 terhadap ekonomi.

Jatim Transparan

Menanggapi seruan presiden tersebut, Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa menegaskan, Pemprov Jatim memaksimalkan peran serta Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) untuk mengawal dan mengawasi alokasi anggaran penanganan Covid-19 di Jatim agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan sehingga tepat sasaran, transparan dan akuntabel.

“Pengawasan ini sebagai fungsi check and balance sehingga efektifitas dan efisiensi pelaksanaannya di lapangan dapat maksimal sekaligus menutup celah yang memungkinkan terjadinya penyalahgunaan anggaran tersebut,” kata Khofifah.

Dijelaskan, seluruh bantuan sosial yang bersumber dari APBD Provinsi, penyalurannya melalui kabupaten/ kota. Sedangkan bantuan dari donatur baik individu, lembaga, dan CSR perusahaan yang diterima Pemprov Jatim, semuanya diunggah dan ditampilkan di website infocovid19. jatimprov.go.id, sehingga jumlah bantuan serta pendistribusiannya dapat diakses semua pihak. Hal ini sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat luas.

“Jadi semua bersifat transparan dan terbuka. Masyarakat bisa mengakses dan melihat langsung berapa dan kemana bantuan tersebut disalurkan. Kami juga meminta masyarakat berperan aktif melakukan pengawasan di lapangan terutama yang terkait bantuan sosial,” tegas Khofifah.
Peringatan BPK

Sebelumnya BPK telah mengingatkan pemerintah terkait pentingnya sikap kehati-hatian dalam menganggarkan keuangan negara untuk penanganan dan penanggulangan pandemi Covid-19.

Wakil Ketua BPK Agus Joko Pramono mengatakan yang penting diperhatikan adalah mengukur beban yang ditimbulkan dari pandemi ini dan seberapa besar kemampuan keuangan negara sebelum membuat kebijakan.

“Kami sudah menyampaikan kepada KSSK, Menteri Keuangan, Gubernur BI dan juga kepada LPS, OJK, bahwa sebelum membuat kebijakan maka harus dimitigasi dulu tingkat kedalaman dari kebijakan tersebut terutama terkait bebannya terhadap keuangan negara,” kata Agus dalam seminar bertajuk Tantangan Akuntabilitas Keuangan Negara di Tengah Masa Pandemi Covid-19, Selasa (9/6/2020).

Hal ini untuk mencegah terulangnya masalah keuangan yang sempat terjadi pada krisis keuangan 1998 lalu yaitu kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan krisis perbankan pada 2008 oleh Bank Century.

“Ini nampaknya juga bakal terjadi sekarang, tapi kami sudah memberikan warning kepada pemerintah, mengapa, angka yang dibutuhkan di program ekonomi nasional sekarang terus meningkat. Karena apa, karena tidak memitigasi dulu besarannya sebelum membuat kebijakan,” tegasnya.

Agus memaparkan kelemahan pemerintah terkait kasus BLBI waktu itu. Dikatakan, saat itu, pemerintah tak mengetahui besaran utang yang menumpuk ketika mencari dana talangan (bailout). Sebagaimana diketahui, saat krisis 1998, kebijakan BLBI diambil pemerintah untuk memitigasi krisis tersebut, namun akhirnya malah membuat negara terbebani utang hingga lebih dari Rp 1.000 triliun.

“Kelemahan BLBI ada satu hal yang tidak boleh terjadi sekarang, jaman waktu BLBI kita tidak mengetahui berapa sebenarnya jumlah utang atau jumlah beban yang dibutuhkan pada waktu kita melakukan bailout,” paparnya.

Demikian juga dengan kasus Bank Century. Pemerintah waktu itu juga terpaksa menalangi Bank Century hingga sebesar Rp 7 triliun padahal kebutuhan awalnya jauh di bawah jumlah tersebut.

“Ini juga terjadi pada waktu kasus Bank Century, dari hasil pemeriksaan kami, KSSK pada saat itu tidak mengetahui pasti untuk melakukan bailout di Bank Century. Sehingga waktu Menteri Keuangan tanda tangan waktu itu tahun 2009, kebutuhan itu Rp 670 miliar, tapi pada saat dilaksanakan kebutuhan itu berubah menjadi Rp 7 triliun,” tandasnya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *