JAKARTA, REPORTER.ID – Gubernur Lemhanas, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, disadari atau tidak, Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), kalau di Bandung ini menyangkut penyakit.
“Kalau ditanya di Bandung, RUU naon iye teh? RUU HaIPe. HaIpe naon? HaIPe Aids (penyakit),” seloroh Letjen Agus saat menyampaikan closing statement dalam Program Indonesia Lawyers Club (ILC) edisi Selasa 16 Juni 2020 mengangkat tema “RUU HIP: Benarkah Melumpuhkan Pancasila?”.
Agus sepakat bahwa Pancasila ini sudah merupakan kesepakatan bangsa. Maka, apa pun tujuan untuk memperkuat Pancasila, harus berawal dari kesepakatan itu.
“Kalau itu sudah disepakati, terus sekarang ada kecenderungan untuk membelah masyarakat, maka kita perlu bertanya mengapa itu bis terjadi? Apa sebabnya? Itu lah yang kita cari, agar kita bisa untuk mengatasi masalah yang kita hadapi,” ujarnya.
Kemudian bahwa Pancasila sebagai dasar Negara dan sumber dari segala sumber hukum, penempatan Pancasila dalam penempatan Undang-Undang, hanya akan menempatkan Pancasila itu dalam sebuah ‘kandang’ yang terlalu rigit (rumit). Sedangkan Pancasila perlu memiliki ruang, guna menyesuaikan implementasinya dengan dinamika perkembangan lingkungan.
“Jadi saya rasa, di dalam pembukaan sebuah konstitusi, itu adalah tepat yang paling tepat bagi sebuah dasar Negara. Karena dia (Pancasila) bisa berselancar di dalam batang tubuh Undang-Undang-nya. Tapi, kalau dia diletakan dalam UU, maka diaa akan menjadi kerangkeng untuk UU tersebut,” katanya.
Agus yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi TNI/Polri (29 Oktober 2001-2003) itu menambahkan, istilah yang terdengar baru memang otentik dari pidato Bung Karno. Terderngar baru, menurutnya karena kelengahan kita sendiri yang tidak pernah mengajarkan pendalaman Pancasila, melalui sistem pendidikan yang ada.
“Bahkan, kita juga untuk berdiskusi secara substantif tentang Pancasila dengan menyelam untuk mencari kedalaman pemahaman Pancasila, baru terpaksa kalau sudah ada legislasi tentang Pancasila. Di sini baru kita peras keringat untuk mengeluarkan, dan di sini kita sudah mengandung masalah pembawaan aspirasi sudah menjadi proses politik. Proses akademik ini yang dirasakan kurang untuk bisa memahami Pancasila dengan segala aspeknya,” ungkapnya.
Sehingga, kalau seandainya pemahaman Pancasila dengan segala kedalamannya sudah dilakukan, dan sudah merupakan sebuah proses yang umum (biasa), diskusi ini mungkin akan jauh lebih mudah dan jauh lebih ringan.
“Tinggal nanti proses politik nya saja. Selanjutnya, adalah tantangannya bagaimana perwujudan rumusan atau implementasi Pancasila, di dalam program pembangunan. Apakah itu di dalam UU, apakah itu didalam RPJM, sebagai implementasi konkrit dari Pancasila,” demikian Agus Widjojo. ***