KPU Khawatir Jika Pilkada Serentak Ditunda, Duit 4,1 T Bisa Hangus

oleh
oleh
Gedung KPU.

JAKARTA, REPORTER.ID – Anggota KPU Viryan Aziz mengungkapkan, anggaran untuk pelaksanaan Pilkada 2020 yang sudah ditransfer ke KPU daerah sebesar Rp 4,1 triliun dan sebagian besar dari dana tersebut sudah digunakan. Menuturkan dia, jika Pilkada 2020 ditunda hingga ke 2021, tahapan yang sudah berjalan akan kedaluwarsa.

“Selain itu dana Rp 4,1 triliun yang sudah ditransfer akan menjadi masalah tersendiri. Apabila pemilihan serentak ditunda sampai 2021 atau bahkan 2022, bisa dipastikan dana yang sudah tersalurkan itu dalam ‘hangus’,” kata Viryan melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (20/6/2020).

Jadi, lanjut dia, kalau menunda terlalu lama, bisa juga tahapan yang sudah berjalan secara faktual, secara kualitas menjadi kedaluwarsa, dan tentunya dana bisa mubazir Rp 4,1 triliun. Bahkan tadi disampaikan yang data terbaru sudah lebih dari Rp 4,1 triliun.

“Kalau pilkada ditunda, tentunya ini jadi masalah tersendiri,” ungkapnya.

Viryan memastikan KPU melaksanakan setiap tahapan Pilkada 2020 dengan protokol kesehatan COVID-19 yang ketat. Misalnya di TPS, warga akan dilakukan pengukuran suhu, diberi sarung tangan plastik, kemudian tinta setelah mencoblos akan ditetes ke tangan pemilih, tak lagi dicelupkan.

Sedang Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan proses pelaporan dugaan pelanggaran pada pilkada bisa dilakukan secara online.

“Bawaslu dalam melakukan pengawasan dan penegakan pelanggaran juga harus melakukan penyesuaian sesuai dengan protokol COVID-19 tanpa mengurangi esensi pelaksanaan tugas kewenangan petugas pemilihan. Kami bisa menerima sebuah laporan baik langsung maupun tidak langsung melalui e-mail,” katanya.

Ia mengatakan, proses klarifikasi dapat dilakukan secara daring. Akan tetapi, bagi yang tidak dapat melaksanakan secara daring dan tidak dapat mendatangi kantor Bawaslu, petugaslah yang akan mendatangi pihak yang akan dimintai klarifikasi.

Bawaslu, kata Fritz juga tak menutup kemungkinan melakukan proses sidang pelanggaran administrasi TSM dan penyelesaian sengketa secara online. Akan tetapi, jika sidang tetap dilaksanakan di kantor, akan dilakukan dengan protokol ketat.

“Dimungkinkan adanya persidangan secara online ataupun secara langsung, dan apabila secara langsung, maka akan memperhatikan protokol kesehatan. Termasuk misalnya apabila ada sengketa, setiap proses pilkada dan pemilu, maka yang paling banyak itu adalah proses pencalonan dan kita siap untuk melakukan itu secara daring,” ujar Fritz.

Bawaslu mengatakan, ada potensi kerawanan yang melibatkan banyak orang pada empat tahap Pilkada 2020 yang digelar saat pandemi virus corona atau Covid-19. Salah satunya, potensi kerawanan tersebut pada saat kampanye secara daring atau online.

Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan ada empat tahapan di dalam proses pilkada yang melibatkan banyak orang, yaitu tahapan pemutakhiran data pemilih, verifikasi calon perseorangan, proses tahapan kampanye, dan pemungutan suara.

Pada tahap kampanye, dalam draf PKPU pemilihan di masa pandemi, pertemuan secara tatap muka akan dibatasi jumlah peserta, misalnya jumlah peserta harus setengah dari kapasitas ruang rapat.

KPU memberi ruang agar kampanye tatap muka dapat diganti secara online. Namun Bawaslu menyoroti teknis kampanye secara online. Bawaslu mempertanyakan berapa banyak seseorang boleh melakukan kampanye secara daring, karena tiap calon akan berbeda terkait dana kampanye yang dimiliki masing-masing.

“Kalau kita melihat ada satu kebaikannya di mana pertemuan online atau secara daring itu tidak dibatasi jumlahnya. Jadi kita melihat di sini dia punya potensinya pertemuan secara online tidak dibatasi, tapi menjadi potensi persoalannya adalah bagaimana? Seberapa banyak seseorang bisa melakukan kampanye melalui daring,” ujar Fritz lagi.

Fritz mencontohkan seorang calon peserta pilkada yang memiliki dana tak terbatas sehingga bisa membuat iklan kampanye secara online sebanyak mungkin. Misalnya calon peserta A banyak memasang iklan di media sosial maupun di media online, tetapi peserta pilkada lainnya tidak dapat mengimbangi jumlah iklan yang dipasang pesaingnya bila memiliki sedikit dana kampanye.

“Bagi seorang calon yang memiliki dana tidak terbatas, dia bisa melakukan kampanye online seberapa banyak, bisa lewat push kalau Bapak/Ibu punya Facebook bisa di-push ke masing-masing orang, bisa di internet, bisa di koran-koran online. Itu adalah sebuah bagian dari proses kampanye melalui online, dan itu sengaja memang sepertinya di desain oleh KPU untuk memberikan kompensasi karena tidak ada pertemuan langsung,” papar Fritz. ***

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *