JAKARTA, REPORTER.ID – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya mengatakan bahwa pemerintah sudah berhasil mempelajari dan mengidentifikasi perilaku iklim dan titik panas di Indonesia yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karena itu ia memprediksi puncak karhutla, akan terjadi pada pekan kedua Agustus hingga pekan pertama September 2020.
“Kita sudah mempelajari baik perilaku iklim maupun perilaku hotspot dan juga waktu-waktu ledakan Karhutla yang rata-rata di Agustus minggu kedua, ketiga sampai di September minggu pertama,” kata Menteri LHK Siti usai rapat terbatas tentang Antisipasi Kebakaran Hutan dan Lahan bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Melanjutkan pernyataanya, Menteri Siti mengatakan, berdasarkan pantauan perilaku hotspot, terdapat dua fase krisis karhutla di kawasan Riau, sebagian Sumatera bagian Utara dan Aceh.
Fase krisis pertama, terjadi di bulan Maret-April dan fase krisis kedua masuk di bulan Juni-Juli hingga puncaknya pada Agustus-September. Untuk mengatasi dua fase krisis ini, pemerintah melakukan rekayasa hari hujan melalui teknologi modifikasi cuaca berdasarkan analisis Badan Metereologi Klimataologi Geofisika (BMKG).
“Untuk rekayasa hujan, dapat dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menggunakan pesawat TNI AU. Pasalnya, BPPT belum mempunyai pesawat sendiri untuk melakukan rekayasa hujan. Itu sudah kita lakukan, sehingga kita sudah melewati fase krisis pertama di Riau,” terangnya.
Siti menambahkan bahwa fase krisis pertama penting ditangani karena bersamaan dengan merebaknya pandemi virus corona atau Covid-19 dan Hari Idulfitri 1441 Hijriah.
“Makanya itu coba kita atasi, pemerintah berupaya. Bapak Presiden perintahkan jangan ada masalah dari Lebaran dan seterusnya. Oleh karena itu, kita lakukan modifikasi cuaca di beberapa tempat di Sumatera. Ini sudah kita lakukan pada 13-31 Mei. Sehingga Lebaran jangan ada asap,” ujarnya.
Politisi perempuan dari Partai NasDem itu juga melihat ada korelasi antara modifikasi hari hujan. Awan direkayasa dan diinduksi sehingga mempunyai banyak uang air kemudian jatuh menjadi hujan. Modifikasi cuaca ini berpengaruh pada lahan gambut.
“Membasahi gambut juga kemudian memberikan air untuk embung-embung yang dibangun, sehingga tidak ada asap-asap,” paparnya sambil menambahkan bahwa modifikasi cuaca juga akan kembali dilakukan di kawasan Kalimantan. Berdasarkan analisis BMKG, hotspot akan terasa ketika masuk musim kemarau sekitar bulan Juli, lalu puncaknya pada Agustus dan September.
“Mudah-mudahan ini bisa menjadi solusi yang ada formatnya, dengan sistematis kita persiapkan. Selain itu, pemerintah juga meningkatkan pengawasan hutan dan penegakan hukum serta meningkatkan sistem monitoring Polri, seperti yang telah diterapkan di Polda Riau. Jadi banyak yang secara sistematis sudah dipersiapkan oleh pemerintah,” demikian dijelaskan Siti Nurbaya. ***