Antara Kearab-araban dan Kebarat-baratan

oleh
oleh
Hajrianto Y Thohari, Dubes RI untuk Lebanon.

SEJAK satu atau dua dasawarsa terakhir ini saya sering membaca pernyataan yang bernada keberatan, atau bahkan lebih tepatnya sinisme (cynical), tentang makin menggejalanya kecenderungan sikap laku yang dikatakan sebagai kearab-araban di sebagian kalangan, terutama umat Islam Indonesia. Dari yang ketika berbicara dalam bahasa Indonesia suka menyisipkan kata-kata elementer dalam bahasa Arab, seperti antum, ana, Rabb, shaum, akhi, syukran, dan lain-lainnya, sampai yang lebih ngetren lagi orang Indonesia yang memakai busana Arab.

Semula saya menduga bahwa keberatan atau sinisme itu ditujukan kepada maraknya perempuan Muslimah Indonesia mengenakan jilbab atau cadar. Tetapi ternyata bukan hanya itu: melainkan juga terhadap kaum laki-laki, biasanya Muslim, yang mulai suka memakai busana Arab. Apa yang dimaksud dengan pakaian Arab di sini adalah seperangkat pakaian seperti yang biasa dipakai orang Arab khususnya Arab Saudi, yaitu sejenis thawb atau thob (ثوب ), qomish (قميص ) atau gamis, Robe, Kaftan, atau Tunik. Di Irak dan Biladu Syam (Levant) namanya dhisdashah.

Sementara di negara-negara Arab Afrika Utara disebut jilabiyah atau jelaba. Yakni baju terusan lengan panjang yang menjuntai ke bawah sampai mata kaki dan biasanya berwarna putih atau warna polos lainnya. Di negara-negara Arab Teluk pakaian seperti itu namanya adalah kandora, tetapi dengan sedikit berbeda pada bagian kerahnya.

Di samping itu laki-laki Arab juga mengenakan takiyah di kepalanya, yakni kopiyah putih (di Indonesia disebut kopiyah putih dan di Malaysia disebut songkok haji). Di Palestina dinamakan ghutrah atau ghutra seperti yang dulu sering dipakai Yasser Arafat, pemimpin PLO dan Presiden Palestina yang legendaris itu, yakni tutup kepala berwarna putih dan hitam, atau shumagh, lengkap dengan igal atau agal sebagai pengikatnya. Di Arab Saudi bagian utara laki-laki mengenakan penutup kepala tradisional yang namanya mihramah, dan mudhawarah. Memakai ghutrah tanpa agal disebut dengan hamdaniyah, yakni agar terasa lebih kasual dan santai. Para lelaki juga dilengkapi celana panjang (shirwal, izhar) warna putih juga.

Laki-laki Arab Saudi juga mengenakan mishlah (مشلح) atau ‘aba (عباء), yakni jubah berwarna coklat atau hitam semacam cloak atau bist. Jubah ini dikenakan sebagai pakaian formal para pejabat kerajaan, dan juga oleh para imam sholat dan khatib di masjid-masjid di Arab Saudi, juga di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, sebagaimana yang banyak dilihat oleh para jamaah haji dan umroh. Pakaian “kebesaran” seperti itu juga selalu dikenakan pada acara-acara resmi sebagai pakaian nasional. Lihat saja Raja KSA atau Amir-amir negara Arab Teluk lainnya beserta seluruh pejabat bawahannya selalu mengenakan pakaian tradisional tersebut dengan penuh percaya diri yang luar biasa mengagumkan.

Demikianlah kira-kira pakaian baku dan standar bagi laki-laki Arab terutama Arab Teluk seperti di KSA. Mereka tampil seperti itu dalam semua forum internasional di dalam dan di luar negeri, ketika menerima tamu negara atau melakukan kunjungan resmi kenegaraan, tanpa sedikitpun kelihatan minder, apalagi malu hati dan rendah diri. Alih-alih ada rendah diri (inferiority complex), mereka malah tampil dengan pakaian tradisionalnya dengan penuh kebanggaan dan bermarwah sebagai sebuah bangsa yang berkepribadian secara kebudayaan.

Sementara perempuan Arab kalau acara keluar rumah atau ke tempat lain yang diperkirakan akan sampai dilihat oleh laki-laki yang bukan muhrim mereka biasa mengenakan abaya warna hitam yang mungkin sekali untuk menutup pakaian mereka yang sangat modern dan modis yang sudah dikenakan di dalam. Pakaian perempuan sangat fashionable yang biasanya sangat modern dan modis itu hanya akan diperlihatkan kepada sesama perempuan atau laki-laki yang masih muhrim.

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *