Ingin Tampil Sebagai Agamawan?
Dalam konteks dan perspektif ini saya melihat fenomena maraknya laki-laki Indonesia mengenakan pakaian Arab lebih karena faktor keagamaan. Yaitu, pertama, keinginan untuk tampil dan menampilkan diri secara lebih religius (lebih saleh) dalam berpakaian; dan kedua, ada dorongan untuk tampil beda (dalam pengertian khas) sebagaimana layaknya seorang yang alim ilmu agama. Ini sama dengan seperti yang telah disebutkan di atas bahwa di negara-negara Arab non-Arab Saudi hanya kalangan agamawan, syeikh, ulama, Imam, khatib, atau kaum mutadayyin, yang mengenakan busana tersebut.
Kalau ada yang mengatakan kecenderungan itu sebagai salah, pertanyaan saya adalah “Apanya yang salah?” Saya rasa tidak ada yang salah orang meyakini sebuah model pakaian yang dipandangnya sebagai akan lebih membuat dirinya berhati-hati dan menjaga diri dalam kehidupannya sehari-hari. Yang penting dia tidak merasa paling suci atau sok semuci-suci dengan pakaian yang dikenakannya itu. Ada sisi baiknya juga seorang yang alim dalam ilmu agama dan rajin menjadi imam atau khatib tampil dan menampilkan dirinya dengan busana khas sebagai imam atau khatib. Masak, seorang Imam dan Khatib menyampaikan khutbahnya mengenakan celana kaos atau baju lengan pendek dengan celana jean? Yang benar saja!
Masalah yang masih tinggal dan mengganjal adalah jika orang awam, artinya bukan orang alim dalam ilmu agama dan sering menjadi imam dan khatib, tetapi suka mengenakan pakaian yang khas mutadayyin sejenis itu. Dari sudut kebebasan mengekspresikan dirinya dalam berbusana, hal ini pun sebenarnya juga tidak masalah. Di Arab Saudi orang awam juga biasa mengenakan pakaian tradisional Arab seperti itu. Ada sedikit benarnya juga kalau ada orang-orang yang mengatakan dengan nada mengolok-olok bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab yang kafir itu juga mengenakan busana atau jubah seperti itu. Bahkan juga berjenggot yang sangat lebat itu.
Tetapi seperti yang saya katakan di atas: bukankah di negara-negara Arab non-Arab Saudi pakaian seperti itu tinggal dikenakan oleh para mutadayyin (baca: Syeikh, imam dan khatib) belaka? Di Lebanon dan Mesir, misalnya, orang akan tertawa kalau melihat seseorang yang bukan mutadayyin mengenakan busana seperti itu. Busana seperti itu, seolah-olah telah menjadi konvensi social dan kebudayaan di sana, adalah telah menjadi busana khas para ulama dan syeikh yang alim yang rajin menyampaikan khutbah dan menjadi imam atau memimpin acara-acara keagamaan lainnya. Sebagai pemimpin keagamaan mereka juga sangat perlu tampil beda agar bisa lebih menampakkan kewibawaan spiritualnya. Bukankah para pendeta dan pastur juga mengenakan hal yang sama dan kalian tidak sewot atau kebakaran jenggot?
Memang ada sedikit problem berkenaan dengan doktrin tidak adanya lembaga kependetaan dalam Islam. Berbeda dengan pendeta dan pastur yang mengenal lembaga pentahbisan secara formal, ulama dalam Islam tidak mengenal pentahbisan! Apalagi di Indonesia yang memisahkan oeroesan agama dan oeroesan negara di mana seseorang menjadi imam atau khatib sama sekali bukan urusan negara, melainkan karena kepercayaan masyarakat. Di negara-negara Arab, bahkan juga di Malaysia dan Brunai, Imam dan khatib adalah jabatan resmi yang disahkan oleh Mufti atau jabatan negara lainnya. Tanpa otoritas dari Mufti seseorang tidak bisa memimpin sholat di masjid atau menjadi khatib.
Sementara di Indonesia imam dan khatib adalah urusan umat atau masyarakat, dan negara sama sekali tidak mau menyampurinya dan mengurusinya (karena khawatir pundi-pundi uangnya berkurang “hanya” untuk mengurusi salah satu agama!), negara baru ingin mengurusnya kalau ada kepentingan politik tertentu yang menguntungkan dirinya belaka, seperti untuk memerangi radikalisme dan sejenisnya. Walhasil, negara hanya mau enaknya sendiri: ingin mengendalikan masjid, imam dan khatib, tapi tidak mau keluar anggaran untuk membeayainya!
Di sinilah pangkal persoalannya: karena tidak mengenal lembaga kependetaan (ecclesiastical body) maka semua orang bisa mengklaim dirinya sebagai ulama atau sheikh dan bebas pula mengenakan pakaian seperti layaknya ulama.
Akhirnya, usut punya usut, setelah saya amati dengan teliti ternyata ada yang lebih aneh dan sedikit nyalawadi: orang-orang yang paling sewot dan sedikit benci dengan orang yang mengenakan pakaian Arab –dan dikatakan sebagai sok kearab-araban– itu ternyata adalah orang-orang yang selama ini sehari-hari banyak mengenakan pakaian Arab juga. Bahkan kalau diperhatikan secara sekilas saja, malah namanya Arab dan sangat kearab-araban; dan kalau bicara antar mereka juga banyak sekali menggunakan atau menyisipkan kata-kata dari bahasa Arab. Sudah namanya bahasa Arab semua, pakaiannya Arab, dan bicara dengan banyak sisipan kata Arab lagi!
Saya jadi berpikir sedikit hipotetis, jangan-jangan mereka hanya cemburu (jelous) saja ketika orang-orang yang bukan agamawan, bahkan datang dari kelompok lain, memakai busana khas yang selama ini telah menjadi monopoli mereka. Agaknya, benar atau salah, mereka hanya tidak mau saja “keistimewaan” dan “status sosial” yang mereka miliki secara eksklusif selama ini diacak-acak oleh orang lain dan dari kelompok lain. Inilah pangkal ketersinggungan para ulama yang merasa dirinya telah mapan itu! Lihat saja orang yang paling kebakaran jenggot dengan maraknya pakaian Arab adalah para ulama dan pendukungnya! Walhasil ada rasa cemburu saja mereka itu, meskipun ada alasannya.
Ketersinggungan para mutadayyin ini dimanfaatkan oleh orang-orang atau kelompok yang selama ini dikenal tidak memiliki simpati kepada agama Islam dan umat Islam. Mereka mengapitalisasinya sedemikian rupa dengan mengatakan sebagai sikap laku kearab-araban dengan mengimpor kebudayaan Arab ke Indonesia. Walhasil, sekali pukul mereka menyasar dua golongan sekaligus: orang-orang awam nonulama yang suka memakai pakaian Arab, dan sekaligus para kyai, sheikh, habib, atau ulama, yang memang sejak lama senang menggunakan busana laksana orang Arab itu.