Kebarat-baratan, Yes; Kearab-araban, No?
Saya sendiri, sebagaimana lazimnya pejabat Indonesia, sesuai dengan ketentuan protokoler, dalam pertemuan-pertemuan resmi selalu memakai pakaian nasional yang pada sejatinya adalah pakaian Barat. Anehnya kok dalam hal ini tidak ada yang menyalahkannya dengan menyebutnya sebagai ke-barat-barat-an? Memang akhir-akhir ini, mungkin sejak dua dasawarsa terakhir ini, pakaian (shirt) batik (lengan panjang) sudah (hampir-hampir) menjadi pakaian formal yang dianggap memenuhi ketentuan keresmian dan protokoler.
Tapi ngomong-ngomong, meski bahan dan coraknya batik, tetapi toh modelnya juga seperti shirt yang nota bene meniru model barat juga. Belum lagi celana panjang (pantalon), sepatu, dan aksesori-aksesori lainnya, juga meniru model orang Barat juga. Lantas mengapa tidak dituding ke-Barat-Barat-an juga? Bukankah shirt, sebagaimana yang pengertiannya tersebut di alinea atas itu adalah model yang diimpor dari luar juga, dalam hal ini Barat? Mengapa tidak dikatakan kebarat-baratan?
Belum lagi kalau sedang berbicara dalam Bahasa Indonesia, betapa banyak teman-teman kita sering benar menyisipkan kata-kata bro (brother), you, okey, sorry, mostly, by the way, dan kata-kata Inggris lainnya, dan tidak ada yang mengatakannya sebagai ke-“inggris-jnggris”-an? Padahal fakta dan kenyataannya sudah pakaiannya modelnya ala Barat dan bicaranya banyak sekali menyisipkan kata-kata Inggris lagi! Lantas mengapa kalau mengatakan menyisipkan kata-kata ana, antum, insya Allah, dikatakan kearab-araban atau malah tidak jarang dituding radikal? Sungguh sikap yang sangat tidak adil.
Padahal kalau mau adil (fair) mestinya begini: jika pilihannya antara pakaian Arab dan pakaian Barat maka keduanya derajatnya sama: sama-sama dari luar alias asing. Tetapi kalau pilihannya antara pakaian Arab versus pakaian Indonesia, atau antara pakaian Barat versus pakaian Indonesia, maka sudah pasti kita memilih pakaian Indonesia! Demikian juga dengan kata-kata Inggris atau Arab versus kata-kata Indonesia. Pastilah lebih baik menggunakan kosa kata Bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar. Kecuali, tentu saja, istilah-istilah Syariah yang nyatanya belum ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Jangan sampai kita bersikap Kebarat-baratan, Yes; Kearab-araban, No! Mestinya, kalau fair, ya kedua-duanya: No!
Tentu sebaiknya, atau lebih tepatnya: idealnya, orang Indonesia sebaiknya mengenakan pakaian nasional dan tradisional Indonesia sebagai identitas bangsa, sebagaimana yang menjadi salah satu ajaran Bung Karno tentang Trisakti, yakni “berkepribadian dalam kebudayaan. Ini penting agar kita sebagai bangsa bangga dengan identitas nasionalnya. Dan ini juga menunjukkan kita lebih berkepribadian dalam kebudayaan. Yang penting bagi umat Islam adalah, pakaian model manapun, tuntutan syariat Islam untuk menutup aurat tidak ditinggalkan, baik bagi laki-laki maupun apalagi bagi perempuan.
Maka dari itu, sebagaimana saya tidak menyalahkan pria Indonesia yang suka mengenakan pakaian ala Barat, saya sama sekali juga tidak melihat ada yang terlalu salah dengan kecenderungan sebagian kalangan umat Islam Indonesia yang senang mengenakan pakaian Arab seperti tersebut di atas. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh kalangan agamawan (mutadayyin). Sementara bagi perempuan yang penting adalah tidak melanggar prinsip Syariah terutama berkenaan dengan kewajiban menutup aurat.
Dalam konteks dan perspektif ini maka untung sekali kita memiliki pakaian batik. Persoalannya adalah tinggal bagaimana kita dapat mengembangkan model dan jahitannya sedemikian rupa sehingga benar-benar lebih mencerminkan kebudayaan Indonesia. Jika ini bisa dilakukan maka barulah “berkepribadian dalam kebudayaan” seperti yang diajarkan dalam Trisakti-nya Bung Karno.
Kembali kepada pakaian nasional Indonesia, sebenarnya apakah dan seperti apakah yang disebut dengan pakaian nasional Indonesia itu? Bukankah apa yang disebut dengan pakaian nasional Indonesia selama ini pada sejatinya adalah pakaian Barat saja? Dan bukankah apa yang disebut dengan pakaian asli atau tradisional kita kalau di Jawa tidak lain adalah jas bukak iket blangkon, bawahannya memakai kain jarik dan kaki bersandal, dengan rambut panjang digelung di atas seperti Mahapatih Gadjah Mada? Kalau memang benar demikian ya jas bukak iket blangkon, sama juga sami mawon! He he he…***