JAKARTA, REPORTER.ID – Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Budi Waseso blak-blakan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR, kemarin. Ia menyampaikan, sampai saat ini dan di tengah pandemi virus corona ini, para mafia beras masih terus beraksi mengganggu distribusi pasokan dan kestabilan harga beras di Indonesia.
“Saya sampaikan, di tengah kondisi pandemi covid-19 ini, mafia masih ada. Mafia tidak takut dengan covid, justru memanfaatkan covid itu untuk bekerja lebih keras,” kata Buwas baru-baru ini.
Menurut Buwas, sebenarnya sudah ada beberapa oknum mafia yang diketahuinya. Berbagai kecurangan di lapangan sudah terendus. Masalahnya, dirinya bukan lagi polisi, sehingga tidak bisa apa-apa dan Bulog tidak punya kewenangan secara hukum.
“Bukti-bukti sudah kita kumpulkan dan kita laporkan ke aparat penegak hukum. Tindak lanjut ke aparat hukum, ini perlu dilakukan karena Bulog tidak punya wewenang secara hukum,” ujar Buwas terus terang.
Selain melapor ke aparat hukum, Buwas mengklaim juga selalu mengkoordinasikannya ke Satuan Tugas (Satgas) Pangan. Sayangnya, upayanya itu belum bisa menghentikan gerak para mafia.
“Mafia ini harus kita lawan lebih keras. Ini memang sulit manakala kita tidak ada sinergi, tidak ada pemahaman bersama untuk mengganyang mafia beras. Jujur saja, sampai hari ini juga masih ada Pak, Bu,” katanya.
Sayangnya Buwas tidak mengungkap ke publik siapa saja oknum mafia beras yang diketahuinya itu. Ia hanya mengatakan, pengusutan terhadap mafia beras tetap harus dilakukan melalui aparat penegak hukum.
“Saya tahu tapi tidak mungkin saya buka di sini. Karena kalau saya buka di sini justru nanti menyulitkan penegak hukum,” kilahnya.
Buwas membuka sedikit modus mafia beras bekerja. Salah satunya, sambung Buwas, dengan menjelek-jelekkan kualitas beras dan citra Bulog di masyarakat. Itu dilakukan supaya masyarakat tidak percaya dan tidak mau mengonsumsi beras Bulog dan mencari distributor lain. Padahal, ia mengklaim kualitas beras Bulog lebih baik dan merupakan hasil serapan dari petani di seluruh Indonesia.
“Mafia ini berjuang agar Bulog tidak bisa eksis, lalu diviralkan beras kualitas jelek, yang ketika dibuka banyak kutunya. Jangankan timbangan beras, kualitas pun tidak kami kurangi. Kami transparan,” tegas Buwas.
Dalam rapat dengar pendapat itu Buwas sengaja melempar curahan hati alias curhat kepada para anggota Komisi IV DPR mengenai sulitnya membasmi kutu beras. Kutu-kutu itu berkembang biak di gudang yang menyimpan beras pasokan lama.
“Kutu-kutu itu bertelur, ketika kami buru, kutu itu bisa terbang sampai 400 meter. Kami bersihkan gudang yang satu, begitu kami buka dari gudang yang lain masuk, jadi terus menerus begitu,” ujarnya.
Kendati begitu, Buwas memastikan tidak ada kutu pada beras yang didistribusikan ke masyarakat karena sudah menggunakan mesin rice to rice yang mampu membuat beras tanpa kutu. Proses ini sudah diterapkan di gudang Bulog yang berada di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.
“Jadi tidak mungkin ada kutu, apalagi telurnya hilang semua, beras kami jadi bagus. Kami juga tidak menggunakan bahan pengawet atau bahan kimia sedikit pun,” tegas Buwas.
Di bagian lain penjelasannya, Buwas meminta Kemenkeu menaikkan nominal tunjangan para anggota TNI dan Polri agar bisa membeli beras yang didistribusikan oleh perusahaannya. Saat ini, mereka (para anggota TNI dan Polri, red) harus nombok bila ingin membeli beras Bulog karena tunjangan beras minim.
Ia menjelaskan, Bulog sudah membangun komunikasi dengan TNI dan Polri agar kedua lembaga aparat penegak hukum itu menjadi mitra Bulog dalam hal pembelian beras. Lobi-lobi untuk kerja sama dilakukannya saat Tito Karnavian masih menjabat Kapolri.
“Waktu itu Kapolrinya Pak Tito sudah setuju,” ujar Buwas.
Hasil lobi pun berlanjut ke tahapan berikutnya, yaitu menghitung potensi pembelian dan kebutuhan beras dari Bulog bagi anggota TNI dan Polri. Sayangnya, ada hitungan yang tidak masuk dari sisi harga.
Pasalnya, nominal tunjangan beras anggota TNI dan Polri hanya sekitar Rp7.000 per kilogram padahal beras Bulog dibanderol Rp 9.450 per kg.
“Jadi kekurangannya Rp2.450 per kg sehingga TNI dan Polri harus ‘nombok’ untuk membayar selisih harga. Akibatnya, para anggota TNI dan Polri lebih memilih membeli beras sendiri di pasar. Padahal, itu justru merugikan mereka,” jelas Budi Waseso. ***