JAKARTA, REPORTER.ID – Ribuan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) mendesak Din Syamsuddin diberhentikan sebagai anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Alasannya, Din dianggap telah melanggar amanat statuta ITB dengan melakukan sejumlah tuduhan pada pemerintah.
Dalam surat yang diterima CNNIndonesia, para alumni ITB mengungkap sejumlah tindakan Din yang dinilai sebagai pelanggaran berat. Pertama, tuduhan Din yang menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) tidak jujur dan tidak adil saat proses sengketa Pilpres 2019.
“Pernyataan politis yang konfrontatif ini dilontarkan saat yang bersangkutan belum dua bulan menyandang status sebagai anggota MWA ITB,” seperti dikutip dari salinan surat tertanggal 26 Juni 2020 itu.
Dugaan pelanggaran berikutnya adalah tuduhan Din yang menyebut pemerintah Indonesia otoriter dan represif. Hal ini disampaikan Din saat menjadi pembicara kunci pada sebuah webinar yang digelar 1 Juni lalu.
Dalam webinar tersebut, Din menyatakan pemerintah otoriter dengan menyebut, ‘terus terang kita terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter, represif, dan anti kebebasan berpendapat’.
“Dapat disimpulkan yang dimaksud rezim otoriter, represif, adalah pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo karena menggunakan kata ‘kita’ yang merujuk pada dirinya sendiri dan semua peserta webinar,” jelasnya.
Selain pernyataan tersebut, alumni ITB juga mempersoalkan pernyataan Din yang menyinggung soal tuduhan sistem kediktatoran konstitusional kepada pemerintah. Pernyataan ini didasarkan pada penerbitan Perppu soal penanganan corona yang diteken Jokowi beberapa waktu lalu.
Seperti diberitakan, dalam seminar nasional bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6) lalu, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin mengungkapkan sejumlah syarat pemakzulan pemimpin.
Mengutip pendapat tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi, Din mengatakan syarat-syarat itu harus terpenuhi.
“Pemakzulan itu dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan,” ujar Din ketika itu.
Syarat pertama adalah ketiadaan keadilan. Menurut Din, apabila seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.
“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul,” katanya.
Syarat berikutnya adalah, ketiadaan ilmu pengetahuan. Din yang dosen pemikiran politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatullah ini mengatakan, ketiadaan ilmu ini merujuk pada kerendahan visi terutama tentang cita-cita hidup bangsa.
Dalam konteks negara modern, visi adalah cita-cita bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
“Jika tidak diwujudkan oleh pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul,” ucapnya.
Syarat selanjutnya adalah ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.
“Apabil pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ujarnya.
Mantan Ketua PP Muhammadiyah ini mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.
“Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi seperti godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain,” pungkas Din Syamsuddin. ***