JAKARTA, REPORTER.ID – Ini bukan lagi action tapi beneran. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Ia menangis-nangis tersedu-sedu dan bersujud sampai dua kali ke hadapan Ketua Ketua Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSU dr Soetomo, dr Sudarsono saat beraudensi dengan Pengurus IDI Jatim dan IDI Kota Surabaya di Balai Kota Surabaya, Jalan Walikota Mustajab, Surabaya, Jatim, kemarin.
Risma — begitu sapaan akrabnya — menangis lantaran tidak bisa berkomunikasi dengan pihak RSU dr Soetomo Surabaya. Risma sudah membuka dan membangun komunikasi berkali-kali. Tetapi hasilnya tetap nihil. Risma berharap warganya yang terpapar Covid-19 bisa dirawat di RSU dr Soetomo, namun upayanya selalu kandas.
‘’Kami tidak terima, karena tak bisa masuk ke RSU dr Soetomo,” ujar Risma sambil bersujud di lantai.
Kedua tangannya berupaya meraih kaki dr. Sudarsono yang duduk di depannya, Risma mengatakan dirinya goblok dan tak pantas menjadi Walikota Surabaya.
“Saya memang goblok, saya tak pantas jadi wali kota,” kata Risma sambil menangis.
Dalam audensi tersebut Risma mendapat penjelasan dari dr. Sudarsono bahwa ruang isolasi RSU dr. Soetomo memang selalu penuh karena banyaknya pasien yang dirawat. Ketua Pinere RSU dr Soetomo, dr Sudarsono berulang-u;ang menyampaikan, rumah sakitnya overload pasien Covid-19 karena masih banyak warga yang tidak menerapkan protokol kesehatan.
“Pasien di RSU dr Soetomo sedikit yang keluar, masuk banyak. Karena overload harus ditolak. Saat pasien nangis ditolak saya nangis di poli. Apa lagi saat dua teman saya gugur (terpapar COVID-19), masyarakat seperti ini (masih berkerumun). Mohon ada koordinasi. Karena kita nggak bisa memulangkan jika tidak negatif dua kali,” kata Sudarsono.
Sudarsono mengaku dirinya ingin menemui Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya. Ia ingin para staf Dinkes merasakan beratnya menggunakan APD seperti yang dilakukan para tenaga medis. Sudarsono mengatakan, pihaknya menyesal karena masih banyak warga Surabaya yang tidak menerapkan protokol kesehatan sehingga membuat virus Corona terus menyebar.
“Saya ingin ketemu staf Bu Feny (Kadinkes) bagaimana rasanya mengeluarkan itu. Saat kita lelah akan sangat membahayakan. Yang di hulu sudah sangat bagus, di daerah itu saya pulang setengah 10 (malam) masih ada warung kopi anak-anak muda,” jelasnya.
Menanggapi penjelasan itu, Risma kembali mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa masuk ke RSU dr. Soetomo milik Pemprov Jatim. Dia tegaskan, Pemkot Surabaya tidak bisa masuk untuk berkomunikasi.
“Tolong kami jangan disalahkan terus. Apa saya rela warga saya meninggal, kita ngurus orang meninggal sampai pukul 03.00 pagi, bukan warga Surabaya pun, kami urus,” lanjut Risma sambil tersedu-sedu.
Masih sambil mewek, Risma menawarkan ruang isolasi yang masih kosong di RS Husada Utama untuk pasien RSU dr Soetomo. Di RS Husada Utama tersedia 120-an bed yang belum digunakan untuk pasien Covid-19, tapi bantuan dari Pemkot Surabaya ditolak. Begitu juga saat Risma berikan bantuan APD ke RSU dr Soetomo, ditolak juga. Itu yang membuat Risma nelongso dan dirinya selalu disalahkan.
Seusai mengatakan itu, Risma bangkit dari tempat duduknya dan langsung nyamperin dr. Sudarsono. Ia ‘ndelosor’ sambil menangis dan bersujud di antara dua kaki Sudarsono. Kontan saja, anak buah Risma dan seisi ruangan bingung, terutama Sudarsono.
Mereka berusaha membangunkan Risma yang bersujud di lantai. Dibantu pegawainya, Risma dibantu untuk berdiri. dr Sudarsono juga ikut membantu membangunkan Risma agar kembali duduk.
“Sudah bu, sudah bu,” kata Sudarsono sembari membangunkan Risma dan mendudukkan kembali ke tempat duduknya.
Masih dari Balai Kota Surabaya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita membenarkan ucapan Risma.
Ia mengatakan, Pemkot telah memberi bantuan APD untuk tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19 di RSU dr Soetomo. Namun bantuan tersebut ditolak.
“Iya, kami pernah ngasih ditolak. Ada bukti penolakannya,” kata Febria.
Bahkan menurutnya, penolakan itu tidak hanya terjadi sekali. Kala itu, RSU dr Soetomo beralasan masih memiliki cukup APD.
“Ada dua kali penolakan (bantuan APD). Karena menurut beliaunya cukup APD-nya Soetomo,” imbuh Febria.
Sementara itu Dirut Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya, dr. Joni Wahyuhadi mengaku tak pernah mendapatkan konfirmasi dari Pemerintah Kota Surabaya, terkait pemberian bantuan alat pelindung diri (APD).
“Pemkot [Surabaya] enggak nanya ke saya, yang penting prinsip Soetomo kalau masih ada akan kami manfaatkan. Ndak, ndak, ndak, ndak hubungi saya,” kata Joni, di Gedung DPRD Jawa Timur, Surabaya, Senin (29/6/2020).
Joni juga menampik pernyataan Risma yang menyebut bahwa RSUD dr Soetomo menolak bantuan APD dari Pemkot Surabaya. Menurutnya masih banyak rumah sakit lain yang lebih membutuhkan.
Ia menyebutkan Soetomo telah banyak mendapatkan bantuan APD dari pelbagai pihak. Maka bantuan pemkot itu pun sebaiknya dialihkan ke RS darurat atau RS non rujukan.
“Kami berpikiran Soetomo dapat bantuan banyak dari provinsi, donatur, Kemenkes, dan yang kita anggarkan. Kita pikirkan kawan di RS darurat yang bukan rujukan, kasihan RS darurat itu dia harus diperhatikan APDnya,” ujar Joni Wahyuhadi.
Di sisi lain, saat ditanya wartawan soal bersujudnya Risma hanya menjawab diplomatis. Menurutnya Risma merupakan wali kota yang sangat bertanggung jawab.
“Bagus kok. Bu Risma itu sangat-sangat istimewa. Justru itu kebaikan beliau sangat kelihatan di situ. Rasa tanggung jawab besar dan merasa bersalah ini suatu ibu wali kota yang luar biasa,. Saya sebetulnya juga merasa ya apa, tapi saya ngomong apa adanya. Karena saya turun langsung, saya juga di poli, kadang-kadang di IGD, kadang-kadang merawat langsung pasien yang ada di ruang isolasi,” tegas Sudarsono. ***