JAKARTA, REPORTER.ID – Ekonom senior Rizal Ramli bicara soal kondisi perekonomian Indonesia, salah satunya soal penguatan nilai tukar rupiah di tengah tekanan ekonomi dalam negeri. Rizal mengatakan salah satu faktornya adalah karena Amerika Serikat sedang mencetak uang hingga 2 triliun dolar AS untuk memberikan stimulus ekonomi nasional. Menurutnya, hal ini membuat mata uang negara lain seperti Indonesia mengalami penguatan semu.
“Semua indikator makro ekonomi ini negatif, tapi kok rupiah stabil? Menurut saya ini terjadi karena dua hal. Satu, di Amerika sana mereka sedang nyetak uang besar sekali. Stimulus terakhir di sana US$ 2 triliun, akibatnya mata uang dollar anjlok, mata uang lain jadi kuat. Ini stabilitas semu,” ujar Rizal dalam diskusi publik bertajuk The Magnificent Seven, kemarin.
Selain itu, kata Rizal, Indonesia juga memiliki pinjaman luar negeri yang terus bertambah. Utang ini dinilainya sebagai hal yang negatif untuk perekonomian dalam negeri.
“Makin lama pinjaman makin besar dan bunganya alias yield itu juga makin tinggi. Bahasa sederhananya ekonomi kita bagaikan petinju ini kelimpungan karena terlalu banyak utang. Kalau 98 utang banyak di swasta, hari ini pemerintah dan BUMN sebagai petinju kelimpungan tapi didoping oleh pinjaman,” kata Rizal Ramli.
Ditambah lagi, telah terjadi kasus gagal bayar yang menurut Rizal terjadi pada 46 perusahaan asuransi sekuritas dengan rata-rata totalnya Rp 400 – 500 triliun. Hal ini membuat perekonomian bagaikan terkena pukulan telak.
“Situasi ini membuat ekonomi Indonesia bagai petinju goyang, dan coba distabilkan dengan utang luar negeri, tapi ada jab alias pukulan dari gagal bayar Rp 400-500 triliun. Akhirnya terjadilah krisis hari ini,” ungkap Rizal.
Sebelumnya Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo meyakini rupiah bisa menguat lantaran nilainya masih kemurahan atau undervalue. “Nilai tukar rupiah masih undervalue, sehingga berpotensi untuk terus menguat dan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya dalam rapat dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Senin (22/6/2020).
Perry melaporkan nilai tukar rupiah masih tercatat naik 3,26% secara point to point dan naik 5,65% secara merata dibandingkan level Mei 2020. Hal itu disebabkan berbagai faktor positif termasuk aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan.
“Kami melihat juga berlanjutnya penguatan rupiah dengan tingginya imbal hasil aset keuangan domestik, membaik kepercayaan investor dan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global,” terangnya.
Potensi penguatan rupiah diyakininya juga didukung oleh masih rendahnya inflasi, penurunan defisit transaksi berjalan hingga membaiknya risiko di ekonomi global dan domestik.
BI memperkirakan dolar AS rata-rata di 2020 ini berada di kisaran Rp 14.000-14.600. Sementara untuk tahun depan diperkirakan membaik di kisaran Rp 13.700-14.300. ***