Presiden Marah-Marah, Rakyat Dapat Apa?

oleh
oleh
Presiden Jokowi.
Teddy Mihelde Yamin.

SEBELUMNYA kusebutkan ‘fragmen marah-marah’ Presiden Jokowi kepada anggota kabinet dan jajaran pemerintahan lainnya pada Kamis (18/6/2020), yang dipertontonkan ke publik 10 hari kemudian pada Ahad (28/6/2020) tersebut, disinyalir rekayasa (bahasa gaulnya settingan) demi mengalihkan perhatian publik.

Terserah mau setuju atau tidak bahkan ada yang menyebut ‘nyeleneh’. Tetapi nggak membutuhkan waktu lama, pernyataanku mencari kebenarannya. Nyatanya, berkat momentum itu seketika pemberitaan media mainstream dan sosmed beralih topik. Tidak lagi tentang Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sensitif dan rawan gesekan di akar rumput itu. Berubah sibuk menganalisa dan memprediksi kelangsungan kabinetnya yang baru seumur jagung ini. Berbagai analisa membahas sebab kemarahan dan kemungkinan menteri yang diganti posisinya.

Soal istana, dimanapun selalu menjadi berita yang menarik dan seksi. Biro Pers Istana memang ‘ajib’, tak berlebihan bila disebutkan kerja keren, sekalipun berkesan “merendahkan diri tetapi meninggikan mutu”. Seolah bahwa Presiden sudah berusaha sekuatnya, tetapi pembantunya yang tak tanggap, lelet dan takut. Cuci tangan yang bersih. Pasti ini salah satu efek dari covid.

Sebagian temanku tak percaya, tetapi sebagian lain justru terkaget dengan analisaku. Karena bertepatan dengan kinerja kabinet Presiden yang mencatat banyak cerita sumbang dan kegeraman rakyat. Di tengah wabah ini, rakyat semakin jeli menghitung setiap langkah dan kebijakan yang ditetapkan di negara ini. Rakyat juga mengerti ada Menteri yang tak sejalan dengan Kepala Daerah, koordinasi antar kementerian yang mampet, kebijakan kementerian yang tak berpihak ke rakyat kecil, harga-harga yang melambung tinggi menyusul berbagai tarif yang naik tinggi. Penghasilan jeblok. Di samping lahirnya UU yang superkilat atau pembahasan RUU yang disegerakan di tengah pandemi covid ini.

Sebenarnya marah-marah dalam managemen modern bukanlah cara yang benar. Mempermalukan anak buah dihadapan publik bukan berarti berdampak baik. Harga diri dan marwah seseorang yang semestinya dijaga. Apalagi bagi seorang pejabat yang dibelakangnya mempunyai gerbong panjang. Akhirnya di sini akan terukur kwalitas leadership pemimpin. Dan lagi peristiwa serupa sudah seringkali. Nggak ada yang istimewa. Kecuali kini para politisi yang mulai bersiap, memasang kuda-kuda dan merapatkan barisan demi menjaga segala kemungkinan.

Rakyat dapat apa? Apakah ada pejabat yang langsung mundur? Nggak juga, karena mundur bukanlah tradisi di negeri ini. Dan lagi banyak team sukses yang akan membenarkan dan menjaganya. Semestinya setelah 5 tahun bahkan lebih jika dihitung dari pengalamannya di Solo atau DKI Jakarta, beliau mengerti betul problem birokrasi di Republik ini. Mau marah setiap hari juga nggak langsung berubah. Jadi tak semudah yang dijanjikan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *