JAKARTA, REPORTER.ID – Menko Polhukam Mahfud MD meminta Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin segera menangkap terpidana kasus cessie Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, yang telah menjadi buron sejak 2009.
“Saya tadi sudah bicara dengan Jaksa Agung supaya segera menangkap buronan Joko Tjandra,” tegas Mahfud yangdisampaikannya melalui telepon kepada Jaksa Agung, kemarin..
Sementara itu Koordinator MAKI Boyamin Soiman mengatakan, lolosnya terpidana kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra dalam sistem database Ditjen Imigrasi karena buronan itu diduga telah berganti nama menjadi Joko S Tjandra.
“Djoko S Tjandra saat ini telah memiliki kewarganegaraan Indonesia dan mengubah nama Joko Soegiharto Tjandra melalui proses pengadilan negeri di Papua,” kata Boyamin, kemarin.
Mahfud menyebut Djoko Tjandra sebagai buronan kelas kakap karena masuk daftar pencarian orang (DPO). Untuk itu, Kejaksaan Agung dan Polri diminta segera meringkus Djoko Tjandra.
“Tidak ada alasan bagi orang yang DPO meskipun dia mau minta PK (peninjauan kembali), lalu dibiarkan berkeliaran,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, berdasarkan undang-undang, orang yang mengajukan PK harus hadir dalam pengadilan. Jika tidak, maka PK tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, ketika Djoko Tjandra mengajukan PK dan hadir di pengadilan, pihaknya meminta polisi dan Kejaksaan Agung langsung menangkapnya.
Dengan begitu, Djoko Tjandra dapat segera dijebloskan ke penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
“Jadi tidak ada penundaan hukuman bagi orang yang sudah minta PK. Itu saja demi kepastian hukum dan perang melawan korupsi,” tegas Mahfud.
Sebelumnya dalam raker dengan Komisi III DPR, Senin (29/6/2020), Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan, terpidana kasus Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, saat ini sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu. Ia mengaku begitu sakit hati dengan informasi tersebut karena Djoko Tjandra telah buron selama bertahun-tahun.
“Informasinya lagi yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya,” ujar Burhanuddin.
Seperti diketahui, Djoko Tjandra kabur dari Indonesia ke Papua Nugini sejak 2009. Bahkan, pada 2012, ia telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini. Namun, pada 8 Juni lalu, ia dikabarkan telah mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Melanjutkan pernyataannya, Boyamin Soiman mengatakan, perubahan nama awal dari Djoko menjadi Joko menjadikan data dalam paspor berbeda sehingga tidak terdeteksi oleh Imigrasi. Hal ini pernah dibenarkan oleh Menkumham Yasonna Laoly bahwa tidak ada data pada Imigrasi atas masuknya Djoko S Tjandra.
Ia menambahkan, seharusnya Djoko Tjandra yang kabur ke luar negeri sudah tidak bisa masuk ke Tanah Air. Sebab, masa berlaku paspor hanya lima tahun. Dengan demikian, jika dirinya kabur sejak 2009, maka seharusnya sejak 2015 dia sudah tidak bisa masuk ke Indonesia.
“Atau jika masuk Indonesia mestinya langsung ditangkap petugas Imigrasi karena paspornya telah kedaluwarsa,” kata dia.
Kata Boyamin, bila mengacu nama barunya, maka upaya hukum PK yang diajukan Joko di PN Jakarta Selatan seharusnya tidak bisa diterima Mahkamah Agung. Sebab, identitas Joko berbeda dari putusan persidangan PK dalam perkara cessie Bank Bali yang telah diputus MA pada 2009 silam.
“Atas dasar sengkarut imigrasi ini, kami akan segera melaporkan kepada Ombudsman RI guna menelusuri malaadministrasi atas bobolnya sistem kependudukan dan paspor pada sistem imigrasi yang diperoleh Djoko S Tjandra,” tegasnya.
Terpisah, Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengungkapkan, sebelum Kejagung mengajukan PK ke MA pada 2008, pihaknya telah menerima permintaan pencegahan atas nama Djoko Tjandra oleh KPK pada 24 April 2008.
Pencegahan ini berlaku selama 6 bulan. Kemudian, pada 10 Juli 2009, Interpol menerbitkan red notice. Setelah itu, pada 29 Maret 2012, terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejagung yang berlaku selam 6 bulan.
Selanjutnya Sekretaris NCB Interpol Indonesia mengajukan permintaan daftar pencarian orang (DPO) pada 12 Februari 2015.
“Ditjen Imigrasi menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor Imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri,” kata Arvin.
Setelah itu, Imigrasi menerima pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol pada 5 Mei 2020 bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak 2014 karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung.
Saat itu, Ditjen Imigrasi menindaklanjuti dengan menghapus nama Djoko Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. “Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung. Sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO,” ujarnya. ***