JAKARTA, REPORTER.ID – Pasangan calon tunggal atau kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak diprediksi meningkat di tahun 2020 ini. Musababnya, ruang interaksi sosial untuk kampanye terbatasi akibat pandemi Covid-19.
Keadaan itu membuat partai politik lebih memilih bakal calon yang sudah punya bekal elektabilitas tinggi dan sumber daya yang kuat, atau petahana, incumabent.
Menyadari efek pandemi juga membuat sumber daya yang dimiliki para calon lawan di daerah semakin mengecil. Modal mereka untuk mengikuti pesta demokrasi tak signifikan sehingga opsi mundur dari perhelatan pilkada menjadi pilihan.
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus tak menafikan kondisi pandemi ini bisa berakibat terjadinya calon tunggal di pilkada 2020. Sehingga menjadi kesempatan empuk bagi incumbent untuk mengikuti kembali pilkada dengan cara meraup dukungan semua partai di daerah sehingga tak ada lagi calon pesaingnya.
Namun kata dia, hal itu bisa berdampak buruk bagi pendidikan politik masyarakat. Masyarakat disuguhi cara pandang politik yang mengedepankan menang adalah pilihan. Padahal, adu gagasan untuk kemaslahatan daerah adalah esensi dari digelarnya pilkada tersebut.
“Pemilu dalam demokrasi itu apa? Itu kan pertarungan antara satu kandidat dengan kandidat yang lain, bukan antara satu kotak dengan kandidat atau sebaliknya,” jelas Guspardi.
Menurut politisi PAN ini, masyarakat masih sering menjadi korban akibat buruknya pola persaingan politik oleh para kandidat kepala daerah. Contoh nyata untuk hal ini adalah politik uang (money politic) yang masih menjadi siasat terselubung oleh para kandidat. Padahal, hal itu berefek buruk bagi demokrasi.
Fenomena calon tunggal dalam pilkada ini menambah daftar metode ‘culas’ yang berdampak buruk bagi demokrasi tersebut. Untuk itu, Guspardi mendesak agar cara seperti itu tak dilakukan jika ingin membangun daerah dengan baik.
“Saya sebagai anggota DPR tentu mengimbau kepada masyarakat, kepada para tokoh, apalagi para petinggi partai untuk menghindari calon tunggal itu. Kita harusnya adu konsep, adu gagasan mau dibawa ke mana daerah, mau dibawa ke mana masyarakat,” ujarnya.
Jika dilihat, tren pasangan calon tunggal terus meningkat di tiga gelombang pilkada serentak, ini dikhawatirkan akan kembali berlanjut di pilkada 2020.
Pada pilkada 2015 yang berlangsung serentak di 269 daerah, tiga daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal. Di 2017, pilkada yang melibatkan 101 daerah juga memperlihatkan 9 daerah menggelar pilkada dengan kondisi yang sama. Jumlah itu semakin meningkat di pilkada 2018. Dari 171 daerah penyelenggara pilkada, 16 daerah menggelar pilkada dengan calon tunggal.
Menurut Guspardi, tren itu bisa ditekan jika partai politik di daerah mampu menghadirkan sosok-sosok baru yang punya visi dan misi kuat. Kandidat incumbent, juga harus berjiwa besar untuk tak menuruti hasratnya maju sendirian untuk mendapatkan kembali kursi kepemimpinan.
Legislator dari daerah pemilihan Sumatera Barat II ini menegaskan pilkada itu harus menghadirkan khazanah demokrasi yang lurus dan bersih agar tercipta pendidikan politik masyarakat yang baik, agar tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat terwujud. “Kita malu masak yang menjadi lawan bukan yang berotak, tapi kotak kosong,” pungkasnya.(mohamad)