Tak Teken UU KPK Hasil Revisi, Jokowi Tidak Langgar Aturan dan Etika Ketatanegaraan

oleh
oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Mantan Hakim Agung MA, Gayus Luumbun menegaskan, UU KPK yang tidak ditandatangani Presiden Jokowi tidak melanggar keabsahan UU dan tidak melanggar etika ketatanegaraan. Penegasan itu disampaikan Gayus Luumbun dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Senin (6/7/2020).

Webinar tersebut mengkaji pendapat mantan Ketua MA, Bagir Manan yang menyebut Presiden Jokowi melanggar etika ketatanegaraan bila tidak mau menandatangani RUU KPK yang telah disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR. Menurut Bagir Manan, praktik di mana pun, kepala negara selalu mengesahkan UU yang sudah disepakati DPR.

“Karena kalau sudah disetujui DPR berarti itu sudah kehendak rakyat, dia (presiden, red) mempunyai kewajiban untuk mengikuti kehendak rakyat,” ujar Bagir Manan saat menjadi saksi ahli pada sidang formil UU KPK di Mahkamah Konsitusi, Rabu (24/6) lalu. (lihat laman Tempo.co, Rabu (24/6), pukul 14.38 WIB.

Dalam dialog virtual tersebut beberapa pakar hukum menyampaikan pandangannya terhadap pendapat Bagir Manan. Mereka adalah Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MH (mantan Ketua MA),  Prof. Dr. Jimmly Assiddiqie, SH, MH (mantan Ketua MK), Prof. Dr. Sunarto, SH, MH (pakar Hukum Pidana dari UNILA), Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH, MH (pakar Etika dan  Moral dari Unair), Prof. Dr. T. Gayus Luumbun, SH, MH (mantan Hakim Agung MA), Dr. Firman Wijaya, SH, MH (Ketua Program Pasca Sarjana FH Unkris Jakarta, dan Drs. R.H. Mochtar HP, Bac, SH, MH sebagai moderator.

Pada forum tersebut  Gayus Luumbun secara tegas dan lugas mengemukakan pandangannya, bahwa tindakan Presiden Jokowi tidak menandatangani UU yang telah disahkan pada sidang Paripurna DPR, tidak melanggar keabsahan UU KPK hasil revisi dan tidak melanggar sama sekali etika ketetanegaraan.

Karena, situasi pada waktu itu muncul pro dan kontra yang sangat kuat untuk menolak revisi UU tersebut di tengah masyarakat yang mengkhawatirkan revisi tersebut akan menjadi pelemahan bagi KPK, termasuk munculnya salah satu pasal dengan membentuk Dewan Pengawas KPK yang dianggap akan melemahkan kinerja Lembaga KPK.

Gayus menilai, pandangan negatif terhadap tidak ditandatanganinya UU KPK hasil revisi tersebut justru merupakan sikap positif dalam menghargai hubungan antara pemerintah dan DPR. Karena sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang menegaskan bahwa RUU tetap sah tanpa tandatangan presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU disetujui.

Bahwa berkaitan dengan dugaan tentang penilaian bahwa langkah presiden tidak sesuai dengan praktik etika ketatanegaraan, hal itu bagi Gayus Luumbun merupakan bentuk pertanggungjawaban Presiden Jokowi kepada rakyat yang telah memilihnya secara langsung di mana pada saat itu sedang terjadi pergolakan yang kuat antara pro dan kontra terhadap pengesahan revisi UU KPK tersebut.

Hal ini merupakan bentuk Etika yang dilakukan oleh presiden untuk mengakomodasi kehendak rakyat termasuk presiden tidak menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU revisi KPK walaupun desakan muncul dari berbagai kalangan termasuk dari tokoh Agama dan Budayawan seperti Romo Magnis Suseno pada laman Kompas.com tanggal 26 September 2019.

Menurut Gayus Luumbun, kebijakan presiden Jokowi tidak menandatangani UU KPK yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR tersebut menjadi ukuran dalam praktik etika ketatanegaraan sekaligus merupakan wujud tanggungjawab seorang presiden sebagai negarawan. Terakhir, Gayus Luumbun menyampaikan saran dan rekomendasi untuk pengaturan ke depan.

Yakni pertama, terhadap RUU dilakukan Judicial Preview yaitu diajukan lebih dahulu ke Mahkamah Konstitusi untuk dikaji apakah RUU tidak bertentangan degan UUD 1945 sebagai mana yang dilakukan di negara lain seperti Perancis.

Kedua, mempertahankan peraturan yang berlaku saat ini dengan saran agar DPR RI tidak cepat mengajukan pembahasan tingkat II pada rapat paripurna DPR agar Pemerintah mempertimbangkan situasi yang berkembang di masyarakat . Bila situasinya tidak kondusif, pemerintah bisa menolak atau tidak menyetujui RUU tersebut menjadi UU. ‘’Demikian saran saya, semoga mendatangkan kebaikan ke depan,’’ ujar Gayus Luumbun.

Langgar Etika

Seperti diberitakan sebelumnya, mantan Ketua MA Bagir Manan berpendapat, presiden Jokowi melanggar etika ketatanegaraan bila tidak mau menandatangani RUU KPK yang telah disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR.

Menurut Bagir Manan, praktik di mana pun, kepala negara selalu mengesahkan UU yang sudah disepakati DPR. “Karena kalau sudah disetujui DPR berarti itu sudah kehendak rakyat, dia (presiden, red) mempunyai kewajiban untuk mengikuti kehendak rakyat,” ujar Bagir Manan saat menjadi saksi ahli siding formil UU KPK di Mahkamah Konsitusi, Rabu (24/6) lalu. (lihat,  Tempo.co, Rabu (24/6), pukul 14.38 WIB)

Bagir Manan menilai aneh jika Presiden Jokowi tak menandatangani pengesahan Undang-undang KPK atau UU KPK hasil revisi. Ia menyebut hal tersebut sebagai anomali, padahal hasil revisi itu telah disepakati bersama antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.

“Sudah disetujui bersama, tapi tidak ditandatangani. Pertanyaan lebih jauh, presiden tidak tanda tangani berarti ada sesuatu yang tidak disetujui oleh presiden?” kata Bagir.

Bagir mengatakan secara hukum memang UU anyar itu akan otomatis diundangkan setelah 30 hari, meskipun tanpa tanda tangan presiden. Aturan ini juga tertuang dalam ketentuan peralihan UU KPK yang baru.

Bagir mengatakan, sesuatu yang anomali tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan undang-undang yang baik. Sebagai suatu beleid dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, kata dia, Presiden harus menjelaskan alasannya tak menandatangani UU KPK hasil revisi itu.

“Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik,” ucap dia.

Sebagai suatu beleid dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, kata Bagir, Presiden harus menjelaskan alasannya tak menandatangani UU KPK hasil revisi itu. “Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik,” ucap dia.

Sementara rohaniwan Franz Magnis-Suseno meminta Presiden Jokowi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi. Franz Magnis Suseno berharap Presiden Jokowi memiliki keberanian untuk menerbitkan perppu.

“Saya sangat mengharapkan agar Bapak Presiden mempunyai keberanian untuk mengubah kebijakan yang pasti beliau pikirkan dan mengeluarkan Perppu, yang membuat undang-undang itu tidak akan menjadi realitas hukum di Indonesia,” ujar Romo Magnis saat ditemui di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Rabu (25/9/2019). (lihat Kompas.com, Kamis (26 September 2019) pukul| 08:36 WIB)

Hal senada disampaikan putri presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid. Yenny  meminta Presiden Jokowi menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Perppu untuk Undang-Undang KPK.

Yenny berharap Presiden segera memanggil para ahli hukum untuk mempertimbangkan pembatalan Undang-Undang KPK melalui Perppu. Yenny menilai, pembatalan Undang-Undang KPK melalui Perppu bisa meredam emosi masyarakat yang berdemonstrasi di depan Gedung DPR.

“Nah, kita berharap Presiden bisa memanggil ahli-ahli hukum untuk bisa memberikan kajian secara komprehensif, secara menyeluruh. Apakah ini dimungkinkan, dan kalau dimungkinkan, kita memberikan dorongan besar serta support kepada Presiden untuk bisa melakukan itu,” ujar Yenny Wahid. (*)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *