Polemik Tak Berkesudahan: Siapa yang Dilantik Jika Hanya Ada Dua Paslon dalam Pilpres

oleh
oleh
Pilpres 2019.

Polemik Keabsahan Hasil Pemilu 2019 dan Pelantikan Presiden dan Wapres Terpilih Ditinjau dari Hukum Progresif.

Saudaraku, sebangsa setanah air Indonesia. Hingga menjelang fase akhir pilres 2019 masih disaksikan polemik tentang keabsahan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo – Ma’ruf Amin sebagai presiden RI 2019 s/d 2024 yang waktu itu direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2019. Rencana pelantikan itu dilakukan menyusul penetapan pemenang Pemilu Presiden-Wapres tahun 2019 ini. Mungkinkah Jokowi Ma’ruf dilantik sebagai presiden dan wapres yang bertanding dalam pemilu yang hanya diikuti oleh dua pasang calon tetapi tidak memenuhi ketentuan Pasal 6 A ayat 3 UUD NRI 1945? Berikut saya mencoba uraikan analisis saya dalam perspektif hukum progresif.

Dalam Pasal 416 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo Pasal 6A ayat (3) UUD Tahun 1945 disebutkan pemenang pasangan capres terpilih memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1⁄2 jumlah provinsi di Indonesia. Artinya, selain syarat 50 persen jumlah suara, ada syarat 20 persen suara dan melebihi 50 persen jumlah provinsi di Indonesia.

Pada Ayat 4 Pasal 6 A UUD NRI 1945 dinyatakan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh  suara terbanyak  pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak  dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Polemik terkait dengan tafsir Pasal 6A ayat 3 UUD NRI 1945 terus bergulir hingga kini. Alangkah baiknya sebagai bangsa yang besar dan ber-Pancasila, kita membaca Konstitusi tidak hanya secara tekstual. Merujuk apa yang dikemukakan oleh Ronald Dworkin, maka “cara mengeja” konstitusi itu seharusnya dilakukan secara moral (moral reading on constitution). Pengejaan pasal dan ayat konstitusi harus dikaitkan dasar hukum yang melatarbelakangi perumusannya sehingga diperoleh “gambar tampilan” hukum yang utuh, tidak hanya berupa fragmen pasal yang pada hakikatnya hanya skeleton atau “bangkainya hukum.”

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *