JAKARTA, REPORTER, ID-DKI Jakarta merupakan wilayah hilir dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Tak mengherankan bila nama-nama kampung, kelurahan, bahkan kecamatan di Ibu Kota ini berawal dengan Ci yang berarti air atau sungai seperti Cililitan dan Cilincing, dan banyak pula didahului dengan kata Rawa dan Pulo seperti Rawamangun, Rawabuaya, Pulogadung dan Pulomas.
Namun banyak pula yang tidak mengacu pada keduanya melainkan berdasarkan sejarah awal banyaknya warga dari suku bangsa yang tinggal berkelompok di situ.
Salah satunya adalah Kampung Makasar yang kemudian menjadi Kelurahan Makasar di Jakarta Timur.
“Nama kelurahannya memang Makasar, tetapi banyak etnis Betawi yang tinggal di sini,” kata Lurah Makasar Arroyantoro pekan lalu.
Hal itu dibenarkan beberapa warga Kelurahan Makasar masing masing Nurul Hidayati (47) dan Gunawan Iyas (45) yang tinggal di RT 002/07 serta Santoso bin Saimih yang tinggal di RT 001/04 Kelurahan Makasar.
Namun sebenarnya kakak beradik Nurul Hidayati dan Gunawan Iyas itu memang keturunan Makasar dari kakek buyutnya pihak bapak mereka.
“Kami keturunan ke 9 atau ke 10 dari Daeng Makintjing orang Makasar yang menjadi pengikut Pangeran Diponegoro. Tetapi kami tinggal di Kelurahan Makasar baru tahun 2005. Tadinya waktu belum menikah saya tinggal di Sumur Batu, Jakarta Pusat,” kata Nurul.
Diungkapnya, nama Nurul dan Gunawan bila silsilahnya diurut ke atas menjadi bin Sugianto bin Syaebani bin Supono bin H Abdulloh Sayuti bin Dipa Yasa bin Dipa Wecana sampai akhirnya berhulu ke Daeng Makintjing.
“Daeng Makintjing itu panglima perang pengikut setia Pangeran Diponegoro,” tutur Nurul.
Lain lagi dengan Santoso. Dia warga asli Kelurahan Makasar sejak kakek buyutnya.
“Ayah saya bernama Saimih usianya 80 tahun, boleh dibilang sejarawan kampung di sekitaran Kelurahan Makasar, seperti Kampung Dukuh, Pinang Ranti, Lubang Buaya dan Kramatjati,” kata Santoso.
Menurut penuturan ayahnya, Pak Saimih, Kampung Makasar berasal dari tokoh Dato Tonggara yang memang dari Makasar. Dia seorang pejuang yang awalnya hanya singgah di tempat itu.
Namun akhirnya menetap dan beranak pinak di situ sehingga dikenallah kampung itu sebagai Kampung Makasar.
Peninggalan sejarah kampung ini masih ada di wilayah Kecamatan Kramatjati.
“Yaitu makam di belakang Kantor Kecamatan Kramatjati dan kini menjadi objek wisata,” ujar Santoso.
VERSI DISBUD DKI
Sejarah Kampung Makasar juga dapat dibaca pada buku “Asal-usul Nama Tempat di Jakarta” terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta tahun 2004.
Tertulis pada halaman 53 buku itu: Disebut Kampung Makasar karena sejak tahun 1686 dijadikan tempat permukiman orang- orang Makasar di bawah pimpinan Daeng Matara. Mereka adalah tawanan perang dari Kerajaan Gowa yang dibawa ke Batavia oleh Kompeni Belanda setelah dibantu Kerajaan Bone dan Soppeng mengalahkan Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanudin. Banyak sejarawan menyebut kemenangan Kompeni Belanda tersebut berkat politik devide et empera atau adu domba.
Pada awalnya mereka di Batavia diperlakukan sebagai budak. Namun kemudian dijadikan pasukan bala bantuan dan dilibatkan dalam berbagai peperangan oleh Kompeni.
Pada tahun 1673 mereka ditempatkan di sebelah utara Amanusgracht yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Baru. Ini berdasarkan tulisan De Haan tahun 1935. Namun tanah di Kampung Makasar itu mereka sewakan kepada pihak ketiga. Akhirnya jatuh ke tangan Frederik Willem Preyer.
Salah seorang putri Daeng Matara diperisteri Pangeran Purbaya dari Banten yang memiliki beberapa rumah dan ternak di Condet sebelah barat Kampung Makasar.
Dikaitkan dengan Dato Tonggara dari Kampung Makasar menurut buku ini ada legenda yang menyebutkan berkat kesaktian Dato Tonggara terbentuklah Batu Ampar yaitu nama kampung di sebelah timur Ciliwung di daerah Condet yang berasal dari kata Ci-Ondet.
Kelurahan Makasar menurut Lurah Arroyantoro saat ini berpenduduk 42.620 jiwa dari 13.475 KK yang menempati wilayah seluas 161,02 Ha yang terdiri dari 94 RT dari 7 RW.
Tentu saja penduduk Kelurahan Makasar sudah bercampur baur dari berbagai etnis dan budaya. Namun budaya gotongroyong dari berbagai elemen masyarakat menghadapi berbagai masalah barang tentu tetap dikedepankan.
Suasana lingkungan Kelurahan Makasar masih hijau. Kontur tanahnya yang bergelombang membuat pemandangannya tidak monoton.
Bangunan Kantor Kelurahan Makasar menapak di atas tanah yang lebih tinggi membuat pagar dan turapnya kelihatan seperti benteng.
“Bukan seperti Fort Rotterdam benteng di Kota Makasar tempat wafatnya Pangeran Diponegoro, melainkan mirip benteng Martello di Pulau Kelor,” kata Abu Galih pengamat pariwisata dan budaya Jakarta. (Suprihardjo).