JAKARTA, REPORTER.ID – Presiden Lembaga Swadaya Masyarakat Lumbung Informasi Rakyat (LSM LIRA), HM.Jusuf Rizal menyebut, ada Lima hal yang menyebabkan dinasti politik lokal subur di Indonesia. Salah satunya lemahnya peran Civil Siciety Organization (CSO).
“Jadi saya melihat, pesta demokrasi Pilkada serentak 9 Desember 2020 di 274, baik Propinsi, Kabupaten Kota masih dihantui kuatnya politik dinasti lokal, khususnya di beberapa daerah tertentu,” kata Jusuf Rizal kepada wartawan di Jakarta, Jumat (10/7/2020).
Dia menyebutkan lima hal yang membuat subur dinasti politik lokal itu adalah pertama, lemahnya peran Civil Society Organization (CSO) lokal.
“Organisasi kemasyarakatan seperti LSM tidak memiliki keberanian untuk mengkritisi, baik karena sudah dikooptasi maupun takut untuk menyuarakan terhadap kondisi yang ada, termasuk media,” kata dia.
Kedua, kuatnya modal dinasti. Ada dua hal yang terkait modal ini yaitu modal uang dan nama besar. Karena sudah terbangun turun temurun secara otomatis nama dinasti sudah populer, dikenal dan disegani di daerah tersebut.
“Itu terkait karena mereka punya modal. Mereka bahkan bisa membeli suara dengan caranya. Dan ini makin diperparah karena partai politik juga mencari figur yang punya logistik cukup,” ujarnya.
Ketiga, tutur Jusuf Rizal yang juga kerap jadi konsultan pemenangan kandidat adalah lemahnya sistim demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi tergerus oleh praktek money politik karena miskinnya literasi politik lokal.
“Masyarakat tidak lagi menggunakan demokrasi secara sehat, tapi yang penting siapa yang bisa memberi dan membeli suara,” sebut dia.
Keempat, suburnya dinasti politik lokal karena adanya Korupsi. Para dinasti tidak ingin kekuasaan berpindah karena bisa menjadi bumerang, juga tidak ingin borok-boroknya tercium yang kemudian terjerat hukum.
“Maka, mau tidak mau, perilaku KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) menjadi subur. Sebab mereka harus mengembalikan modal politik (teturn of investment). Ini menjadi lingkaran setan,” tambah Jusuf Rizal.
Sedang faktor Kelima, yang membuat dinasti politik lokal kian meraja lela, karena hukum seringkali sulit menyentuhnya. Tujuan kekuasaan menguasai kebijakan dan keuangan sarat dengan ‘abuse of power’.
“Namun, oligarki politik —bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang kelompok elit dari masyarakat— membuat eksekutif, legislatif dan yudikatif berkolaborasi yang menyebabkan penegakan hukum lambat bahkan mandul. Dengan uang mereka bisa membeli hukum,” bebernya.
Menurut pria berdarah Madura-Batak itu, dinasti politik lokal paling kuat saat ini ada di beberapa daerah. Misalnya, Propinsi Banten (Dinasti Atut), Sulawesi Selatan (Dinasti Limpo), Kalimantan Tengah (Dinasti Teras Narang), Lampung (Dinasti Sjahruddin), Kabupaten Bangkalan (Dinasti Fuad), dll.
‘Ditempat lain ada, namun tidak sekuat di daerah-daerah yang saya sbeutkan tadi,” kata Jusuf Rizal seraya menambahkan, untuk mencegah praktek politik dinasti ini, dirinya sudah pernah diajukan agar ada undang-undang yang dapat mencegah seseorang untuk memperoleh kekuasaan yang sarat kepentingan.
Salah satunya, lanjut dia, UU Anti Politik Dinasti. Namun ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai akan menghalangi hak konstitusional seseorang untuk berpartisipasi dalam pemilu.
“Jadi yang dapat dilakukan untuk menghambat politik dinasti lokal dalam Pilkada dengan meningkatkan literasi politik masyarakat agar memilih yang memiliki kompetensi, bukan hanya populer. Kemudian mendorong figur-figur baru muncul, seperti di Sulsel, Nurdin Abdullah mengalahkan Dinasti Limpo,” sebut dia lagi.
Selain itu, mencegah politik uang serta meningkatkan peran serta Civil Society Organization (CSO)— LSM, Media dll — dalam pengawasan.
“LSM LIRA telah membuat Tim Pemantau Pilkada Independen dan telah terakreditasi di Bawaslu,” pungkas Jusuf Rizal. ***