Innovasi dan AKB: dalam Perang Covid-19

oleh
oleh
Ilustrasi.
Iskandar Hadrianto.

“Innovation distinguish between the leader and follower (Steve Jobs, CEO Apple Inc.)

Tantangan utama perang berkepanjangan lawan covid-19 adalah memutus mata-rantai penularan. Jurubicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19, BrigJend TNI (Pur) dr Achmad Yurianto ungkapkan adanya kerancuan diksi pada kata ‘new normal’. GT2P menilai diksi yang benar adalah “adaptasi kebiasaan baru” (AKB).

Adaptasi Kebiasaan Baru:
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semakin gencar melakukan tes cepat (rapid test) dan tes usap (swab test) di tempat-tempat berkumpulnya masyarakat. Kebijakan dilakukan sebagai salah satu cara yang diyakini efektif untuk memutus mata rantai virus corona (Covid-19).

Belum adanya obat penangkal virus yang menyerang saluran pernafasan membuat Pemprov DKI Jakarta harus “memburu” Covid-19 guna cegah penularan lebih luas atau munculnya klaster baru. Konsekuensinya pasca pengujian, apabila kedapatan kasus positif – langsung dilakukan isolasi. Juga pelacakan untuk kemudian dilanjutkan tes berikut dan seterusnya hingga penyebaran virus itu dapat diperkecil bahkan dihentikan. Best practices seperti Ini mustinya didiseminasikan GT2P sebagai ‘role model’ atau ‘lesson learned’ yang dapat di copycats oleh misalnya Jawa Timur yang dari Zona Merah cenderung Hitam; termasuk critical area penularan lainnya. Lihat Melbrourne Aussie yang kini terkena imbas relaksasi & kini masuk 2nd wave.

Innovasi – kunci cegah larinya devisa:
Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) – Menristek Bambang Brodjonegoro inginkan agar innovasi hasil riset dalam negeri dapat membantu penanganan Covid -19. Baik untuk menekan penyebaran pandemi, menangani pasien Covid-19, memulihkan ekonomi bangsa serta membangun kesiapan masyarakat dalam AKB. Sehingga, kegiatan perekonomi Indonesia dapat berjalan produktif sekaligus menjaga kesehatan di tengah pandemi.

Kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi juga diarahkan untuk mencapai apa yang belum dikuasai saat ini atau yang perlu pengembangan lanjutan. Para peneliti dapat menghasilkan suplemen yang bisa membantu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kemungkinan terinfeksi Covid-19, obat-obatan, terapi pengobatan, stem cell dan bidang lain yang bermanfaat.

Kesehatan dan Ekonomi: sejajar
Di lain pihak, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dewi Fortuna Anwar dengan optimis katakan, wabah Covid-19 justru peluang bagi pembuat kebijakan berbasis bukti agar tampil lebih menonjol. Pemerintah Indonesia, universitas dan lembaga think tank perlu memprioritaskan riset di beberapa bidang penelitian seperti kesehatan masyarakat, kedokteran dengan menggunakan pendekatan “big data” dan paradigma ekonomi untuk mencegah penularan virus.

Dewi mengatakan untuk menghasilkan hasil riset yang akurat dan cepat tersebut, perlu didukung ekosistem pengetahuan dan innovasi yang komprehensif. Namun disadari bahwa tantangan utamanya adalah pendanaan, ketersediaan dan akses data serta hubungan periset (researchers) dengan pembuat kebijakan yang masih perlu dibenahi.

Strategi:
Guna mendukung riset Covid-19, diperlukan peran aktif dari aktor-aktor utama yang memungkinkan terbentuknya “ekosistem pengetahuan” dan innovasi. Mereka adalah para knowledge producers (penghasil pengetahuan– universitas, lembaga penelitian atau thinktank), knowledge users (pengguna pengetahuan– kementerian), knowledge enablers (pembuat kebijakan dan badan pendanaan) dan knowledge intermediaries (media dan organisasi masyarakat sipil).

Salah satu kabar gembira, Pemerintah c.q. Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) telah membentuk konsorsium untuk menangani Covid-19. Konsorsium beranggotakan lembaga penelitian di bawah koordinasi Kemenristek/BRIN seperti LIPI, beberapa perguruan tinggi (PT), Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kementerian Kesehatan serta melibatkan dunia usaha baik swasta maupun BUMN. Fokus Konsorsium adalah membantu mencegah, mendeteksi cepat Covid-19 melalui riset dan innovasi seperti vaksin, suplemen, pengobatan dan teknologi kesehatan.

Menristek Bambang Brodjonegoro dalam Diskusi Kebijakan: Penanggulangan COVID-19 Berbasis Pengetahuan dan Inovasi, Senin (22/6) prakarsa “Knowledge Sector Initiative” (KSI) dan Katadata mengatakan, Kemenristek menerapkan “triple helix” di dalam Konsorsium Riset dan Innovasi tentang Covid-19 – menghubungkan dunia penelitian dengan dunia industri dan pemerintah (three pronged cooperation: research-industry-government).

Berbagai elemen dilibatkan Konsorsium mulai dari kesehatan, ikatan farmasi maupun Kementerian BUMN dan Kementerian Perindustrian. Karena jika diamati secara saksama, ‘blessings in disguise’ justru pandemi ini menunjukkan ekosistem riset yang selama ini telah berkembang dengan baik. Pemerintah seharusnya mendorong kreatifitas anak bsngsa dan innovasi. Presiden Joko Widodo kemaren marah-marah kembali agar semua stakeholders yang terlibat tupoksi GT2P hindari impor alat Kesehatan (alkes).

Benar bahwa sebelumnya Pemerintah belum mempunyai produksi ventilator sendiri namun dengan pandemi ini membuat innovasi bekerja dan menghubungkannya dengan dunia industri untuk mewujudkan alat ini. Untuk Itu secara tegas Menristek Bambang PS Brodjonegoro harapkan adanya penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan teknologi ke depan fokus pada upaya menggantikan bahan impor dalam penanganan Covid-19 di Tanah Air.

Faktanya:
Kita masih sangat tergantung impor. Salah satunya bahan ‘rapid test’ (tes cepat); bahannya masih harus impor untuk antigen. Hal ini bisa jadi salah satu subyek riset pembuatan bahan ‘rapid test’ dalam penelitian. Selain itu, yang masih diimpor adalah reagen untuk tes polymerase chain reaction (PCR). Padahal saat ini dalam pemeriksaan PCR selalu digunakan untuk ‘menegakkan’ diagnosa Covid-19. Saat ini Reagen masih 100 persen dipesan dari luar negeri. Kebutuhan reagen juga akan selalu ada terutama dalam mendeteksi virus Corona penyebab Covid-19 dengan menggunakan metode PCR. Juga, mesin PCR saat ini masih 100 % impor. Oleh karenanya, Menristek Bambang mendorong para peneliti/ akademisi yang mempunyai keahlian atau pengetahuan dasar terkait mesin PCR dapat segera mulai mengupayakan innovasi dan riset untuk bisa menghasilkan mesin PCR karya anak bangsa.

Post Mortem:
Kegusaran Presiden terkait impor merupakan warning. Faktanya bahwa sebelum ditemukan vaccine, perang total lawan Corona pasti lama (prolonged wars). Mengandalkan impor menguras devisa dan “pembodohan nasional”. Pakar virologist epidemiologist dan pharmaceuticals Indonesia rata-rata kemampuan sederajat dengan pakar asing. Pengalaman waktu dinas mendampingi pakar S&T dalam symposium & join research, mereka selalu mendapatkan appresiasi dan recognition (pengakuan) atas terobosan & innovasi. Problem utamanya justru di dalam negeri. Pertama, minimnya Dana Pemerintah. Kedua, issue kesejahteraan. Ketiga, keejasama. Untuk Itu pada waktu bertemu dengan Consortiums Industy US dan Lund University, kita coba kembangkan system incubator dengan join research yang dibiayai asing. Karena triple-helix di Negara kita ‘mandul’ enggan atau Pemerintah tak acuh dibidang financial dengan alasan prioritas lain.

Kerugian join riset dengan asing yang sampai kini membuat penulis blog ini muntab jika ingat adalah NAMRU dan Oceanos Axpedition (dibahas tersendiri lain waktu).

Jokowi bisa jadi ‘game changer’ dengan Dana dan menugasi Konsorsium untuk focus pada innovasi. Sementara GT2P sebagai vocal point take lead membantu Kemenkes. Dus, management dan jalur komandonya crystal clear- jelas.

* Catatan : wartawan senior Harian Merdeka (Suratkabar Merdeka BM Diah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *