KETIKA dilantik menjadi menteri tahun lalu, Menteri BUMN (Badan Usaha Milik Negara) Erick Thohir berjanji akan melakukan bersih-bersih di kementeriannya. Sebagai orang swasta, ia berjanji akan bekerja keras memulihkan nama baik BUMN. Ketika Desember 2019 ia memberhentikan seluruh direksi PT Garuda Indonesia, banyak orang memuji sebagai bentuk tindakan bersih-bersih.
Pujian itu ternyata terlalu dini diberikan. Sebab, memecat direksi yang tertangkap basah melakukan tindak pidana sebenarnya bukanlah sebuah keputusan istimewa. Ada orang terbukti melanggar hukum, lalu ditindak. Apa istimewanya?
Kalau kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah “bersih-bersih” sebenarnya tak akan ditemukan. Namun, jika dilihat dari penggunaannya, istilah “bersih-bersih” sebenarnya lebih cenderung bersifat “preventif” ketimbang “kuratif”. Artinya, bersih-bersih adalah sebuah tindakan terencana, bukan spontan, untuk mencegah agar hal-hal buruk tak terjadi.
Merujuk pada pengertian tersebut, sesudah satu semester lewat, saya melihat komitmen Menteri BUMN untuk melakukan tindakan bersih-bersih ternyata sangat lemah, bahkan cenderung mengarah pada hal sebaliknya. Ada beberapa alasan.
Pertama, Menteri BUMN membuat preseden buruk dengan mengangkat tokoh partai politik sebagai komisaris BUMN. Seburuk-buruknya pengelolaan BUMN di masa lalu, keputusan ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Pengangkatan tokoh parpol sebagai komisaris perusahaan negara jelas bertentangan dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN, terutama Pasal 33 huruf (b) jo Pasal 45 Peraturan Pemerintah (PP) No. 45/2005 yang melarang anggota komisaris BUMN merangkap jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Penunjukkan itu juga melanggar Peraturan Menteri BUMN No. Per-02/Mbu/02/2015 yang menyatakan komisaris BUMN bukanlah pengurus partai politik.