JAKARTA, REPORTER.ID – Anggota Komisi IV DPR RI FPKS Andi Akmal Fasluddin mempertanyakan pengekapor benih lobster yang disorot masyarakat di bawah Menteri KKP Edhy Prabowo, itu sudah memenuhi syarat atau belum? Sebab, menjadi pengekspor itu tidak mudah, syartanya ketat. Kalaupun sudah waktunya diekspor, setidaknya kalau sudah mengekspor dua hingga tiga kali.
“Padahal, panennya budidaya benih lobster butuh waktu enam bulan. Kalau harus panen dua hingga tiga kali, maka benih itu baru diekspor sekitar dua tahun atau pada 2021,” demikian Andi Akmal Fasluddin.
Hal itu disampaikan Andi dalam dialektika demokrasi ‘Polemik Lobster: Untungkan Rakyat atau Pengusaha?” bersama anggota Fraksi PKB DPR RI/Ketua Umum Keluarga Alumi Perikanan Undip Abdul Kadir Karding, dan mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Kamis (16/7/2020).
Sebelumnya, melalui Peraturan Menteri (Permen) No 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah RI, Edhy Prabowo memberikan sejumlah syarat yang harus dipenuhi, yakni yang diatur melalui Pasal 5 dari peraturan tersebut.
Sedangkan Susi Pudjiastuti sebelumnya menerbitkan larangan ekspor melalui Peraturan Menteri KKP No. 56 Tahun 2016 tentang Larangan Ekspor Benih Lobster dan dicabut oleh Edhy Prabowo, karena dianilai merugikan masyarakat.
Selain itu, Andi Akmal juga mempertanyakan mundurnya Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Zulficar Mochtar, pada Selasa, (14/7/2020) lalu. “Ada apa dengan mundurnya Pak Dirjen itu? Pak Menteri Edhy Prabowo harus jujur. Khususnya terkait 30 perusahaan pengekspor lobster itu,” kata Andi.
Pengunduran diri Zulficar merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Namun, Abdul Kadir Karding mendukung pembukaan krans ekspor lobster tersebut, karena akn menguntungkan nelayan, pembudidaya, pengusaha dan negara akan meneirma pemasukan melalui PNPB (penerimaan negara bukan pajak). Sebab, dengan larangan ekspor tersebut justru muncul pengekspor ilegal. Padahal, lobster itu tumbuh-subur di NTB, Jawa Timur, Aceh.
Bahkan menurut Karding, setiap tahunnya negara bisa menghasilkan Rp 444,4 triliun dari 1,2 juta ton lobster yang dihasilkan dari luas wilayah laut 12,3 juta hektar yang ada di Indoensia dan bisa menyerap 2,3 juta tenaga kerja. Harga benur pasir Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu, sedangkan benur mutiara Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu. “Jadi, kalau laut dengan losbter saja diberdayakan, maka nelayan akan sejahtera,” kata politisi PKB itu.
Sementara itu Fahri Hamzah hanya menyayangkan kebijakan larangan ekspor Susi Pudjiastuti yang malah membuat nelayan miskin. Seolah hanya mencari popularitas, tapi nelayan ditinggalkan. “Nah, sekarang ini menjadi polemik, karena dianggap ada konflik of interest saja. Tapi, itulah bangsa kita yang tidur dengan feodalisme,” ungkapnya.