Mencermati Batas Aman Utang Luar Negeri

oleh
oleh

Oleh Lili Asdjudiredja

Utang Luar Negeri Indonesia sampai bulan April 2020 mencapai US$ 400,1 milyar dolar atau sekitar 34,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Terhadap besaran utang luar negeri ini, pemerintah dan bank sentral selama ini mengatakan masih dalam batas aman, karena masih di bawah 60 persen dari PDB, sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang No.17/2003 tentang Keuangan Negara.

Argumentasi ini tidak ada salahnya. Namun, harus pula disadari bahwa batas 60 persen tersebut tidak mutlak. Sejumlah negara maju, seperti Amerika dan Jepang, utangnya bisa melebihi 60 persen dari PDB namun kondisi perekenomiannya baik-baik saja. Akan tetapi, jangan pula takabur. Turki yang beban utangnya masih di bawah 60 persen, perekonomiannya bisa menjadi bergejolak.

Sebelum melihat lebih jauh problematika utang luar negeri Indonesia, marilah kita mencermati terlebih dahulu siapa saja pelaku utang luar negeri. Menurut data yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam buku Statistik Utang Luar Negeri, pelakunya adalah bank sentral, pemerintah pusat, BUMN dan swasta. Masing-masing pelaku mempunyai jumlah utang sebagaimana tersaji dalam tabel berikut ini.

Perkembangan Utang Luar Negeri Berdasarkan Peminjam (juta US$)

Kalau melihat data ini, maka pelaku yang paling gemar berutang adalah pemerintah pusat dan BUMN non-lembaga keuangan. Pemerintah pusat berutang melalui instrumen Surat Berharga Negara (SBN). Sementara itu, BUMN Non-lembaga keuangan bisa dalam bentuk pinjaman internasional atau penerbitan obligasi. Besarnya pinjaman BUMN non-lembaga keuangan ini terkait program-program pemerintah yang harus dijalankan, terutama pembangunan infrastruktur. Kalau ditotal (pemerintah dan BUMN) maka kedua pelaku ini jumlah pinjamannya mencapai 55 persen dari total utang Indonesia pada tahun 2015. Persentasi ini terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2019 mencapai 62 persen.Sumber: Bank Indonesia, diolah

Utang luar negeri, ada yang berjangka pendek dan ada yang berjangka panjang. Pengertian utang jangka pendek adalah kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo dalam satu tahun berjalan. Terhadap kewajiban jangka pendek ini, beban pemerintah memang tidak terlalu besar mengingat utang pemerintah sebagian besar berjangka panjang. Namun, utang swasta cukup banyak yang berjangka pendek. Total kewajiban jangka pendek tergambar dalam grafik di bawah ini. Sedangkan utang jangka panjang adalah kewajiban-kewajiban yang jatuh tempo di atas satu tahun. Sebagian kewajiban jangka panjang ini didominasi utang pemerintah dan BUMN. Sekarang, berapakah proporsi kewajiban jangka pendek terhadap kewajiban jangka panjang?. Kalau dihitung, besaranya sekitar 20 persen.

Kewajiban jangka pendek ini akan kita bayar dengan devisa. Sumber devisa bisa berasal dari penerimaan ekspor, modal asing yang masuk Indonesia ataupun cadangan devisa yang ada di bank sentral. Sumber utama yang paling pokok adalah penerimaan ekspor. Selama lima tahun terakhir, angka ekspor Indonesia sebetulnya terus mengalami peningkatan. Namun kenaikan itu, ternyata masih kalah cepat dibandingkan dengan kenaikan impor di mana mulai tahun 2018, justru lebih banyak impor dibandingkan ekspor.

Devisa juga bisa berasal dari investasi asing (baik investasi langsung maupun portofolio) dan tenaga kerja. Sayangnya, devisa yang keluar untuk membayar investasi dan tenaga kerja asing jauh lebih banyak, dibandingkan investasi asing yang masuk Indonesia. Sehingga transaksi investasi dan tenaga kerja menjadi minus. Transaksi ekspor-impor, investasi, tenaga kerja dan bentuk pendapatan lainnya pada akhirnya tercermin dalam transaksi berjalan di mana sejak lima tahun lalu selalu minus. Angka minus ini semakin meningkat hingga tahun terakhir. Ini berarti, kinerja perekonomian kita sebetulnya tidak begitu bagus. Sumber daya yang masuk Indonesia jauh lebih sedikit dibandingkan sumber daya yang keluar Indonesia.

Perkembangan Neraca Pembayaran (juta US$)

  2015 2016 2017 2018 2019 2020 (April)
Ekspor 171.345 167.793 194.210 211.932 200.100 47.794
Impor 165.993 159.559 182.775 218.645 204.343 45.268
Investasi dan Tenaga Kerja -28.379 -29.647 -32.131 -30.815 -33.773 -8.084
Transaksi Berjalan -17.519 -16.952 -16.196 -30.633 -30.387 -3.924
Cadangan Devisa 105.931 116.362 130.196 120.654 129.183 127.880

Sumber: BI, diolah

Sekarang mari kita lihat rasio-rasio yang sering digunakan untuk melihat sejauhmana utang luar negeri tidak mengganggu perekonomian. Salah satu ukuran yang paling populer adalah Debt Service Ratio (DSR). Rasio ini membandingkan pembayaran pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pendek terhadap penerimaan ekspor. Sederhananya, kewajiban jangka pendek dan bunga dibandingkan dengan penerimaan ekspor. Perbandingan ini digunakan untuk melihat kemampuan suatu negara dalam membayar utang. Apabila rasio DSR angkanya kecil maka kemampuan membayarnya cukup bagus. Namun apabila angka DSR besar maka negara itu kemampuan membayarnya cukup mengkhawatirkan.

World Bank membuat semacam patokan, angka DSR akan dibilang tinggi apabila rasionya sudah di atas 20. Patokan ini jelas tidak baku. Tidak selamanya rasio di atas 20 maka perekonomian terganggu. Namun, pada umumnya, negara-negara yang mempunyai angka DSR di atas 20 mulai mendapat perhatian terkait kinerja perekonomiannya. Kalau melihat data DSR Tier 1 (DSR versi World Bank) yang dikeluarkan Bank Indonesia, Indonesia sebetulnya patut diwaspadai karena pada tahun 2016 DSR sampai 35. Angka ini memang terus menurun hingga 21 pada tahun 2019.

Indikator Beban Utang Luar Negeri

Indikator 2015 2016 2017 2018 2019 2020 (april)
Ekspor terhadap total utang 0,55 0,52 0,55 0,56 0,49 0,12
Rasio Utang Jangka Pendek

terhadap utang jangka panjang

0,22 0,21 0,18 0,19 0,19 0,17
DSR Tier 1 30,57 35,35 25,54 25,11 21,76 21,99
Rasio Utang Jangka Pendek

terhadap Cadangan Devisa

0,52 0,47 0,42 0,50 0,49 0,46

Sumber: BI, diolah

Apakah Indonesia harus merasa tenang karena DSR-nya cuman 21,9 ? Seperti dikemukakan sebelumnya, angka 20 bukanlah patokan baku. Kalau di negara maju seperti Jerman, Jepang dan RRC, angka DSR tinggi tidak menjadi masalah karena struktur perekonomiannya tidak mengalami defisit transaksi berjalan.

Dalam konteks Indonesia, angka ini bisa problematis. Fakta yang ada, penerimaan ekspor Indonesia tidak sebanding dengan dolar yang keluar untuk impor. Mulai 2018, malah lebih tinggi impor dibandingkan ekspor. Dolar yang masuk untuk investasi juga lebih kecil dibandingkan dolar yang keluar. semua ini menyebabkan semakin besarnya defisit transaksi berjalan. Ini berarti, pembayaran utang luar negeri jangka pendek tidak bisa mengandalkan penerimaan ekspor. Lalu, darimana membayar kewajiban utang jangka pendek tersebut? Jalan satu-satunya adalah transaksi finansial, misalnya menerbitkan surat utang dalam denominasi dolar atau mata uang kuat lainnya. Surat utang ini, kembali akan digunakan untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo. Dengan kata lain, fenomena yang terjadi adalah gali lubang tutup lubang.

Apakah cadangan devisa tidak bisa digunakan untuk membayar utang? Secara teori itu memungkinkan. Apabila Indonesia kekurangan dolar untuk melunasi pembayaran yang jatuh tempo, dapat menggunakan cadangan devisa. Tapi, nanti dulu, kita lihat apa isi dari cadangan devisa ini. Menurut data yang ada di Bank Indonesia, cadangan devisa ini, sebanyak 86 persen adalah berupa surat berharga. Sisanya baru dalam bentuk uang cash valuta asing. Jadi, sekali lagi, apabila cadangan devisa ini digunakan sama halnya dengan gali lubang tutup lubang.

Dengan kenyataan tersebut, maka pertaruhan ekonomi Indonesia sebetulnya sangat tergantung pada kredibilitas Surat Berharga Negara (SBN). Surat ini digunakan untuk menaikkan jumlah cadangan devisa dan untuk menutupi defisit transaksi berjalan. Semakin baik investor luar merespons SBN maka ekonomi Indonesia tidak akan mengalami guncangan dalam jangka pendek. Namun apabila kredibilitasnya menurun, maka dampaknya pasti akan sangat mendalam. Repotnya, mempertahankan kredibitas SBN itu berbiaya mahal. Pemerintah harus selalu memberi bunga yang menarik agar memikat para investor. Dan itu berarti semakin memperberat pembiayannya yang ujung- ujungnya menjadi beban bagi APBN.

Jadi, dimanakah batas aman utang luar negeri Indonesia? Kalau menggunakan rasio-rasio yang selama ini ada (seperti rasio utang terhadap PDB, rasio DSR, rasio utang terhadap cadangan devisa) performa utang Indonesia memang tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, rasio-rasio itu tidak akan menjamin perekonomian akan aman dan stabil. Hal ini dikarenakan rasio-rasio tersebut tidak memperhitungkan struktur fundamental perekonomian yang tercermin dalam neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan yang semakin besar seharusnya menjadi alarm, bahwa terdapat sesuatu yang luput dalam perekonomian.

Memperbaiki kinerja perekonomian sebetulnya cara yang paling tepat. Misalnya dengan menekan angka impor dan memacu angka ekspor atau menggerakkan industri berorientasi ekspor. Namun, cara ini tampaknya kurang optimal dilakukan. Alih-alih memperbaiki kinerja perekonomian, yang sering dilakukan adalah cara mudah. Utang lama ditutup dengan menerbitkan utang baru. Cara ini sebenarnya solusi sementara. Namun apabila setiap tahun, cara itu dilakukan, maka akan menjebak Indonesia dalam perangkap utang. Dan sebagaimana cerita orang yang terjerat utang, nasib negeri ini pada akhirnya sangat tergantung pada itikad baik para lender. Tidak percaya? Lihatlah apa yang dimainkan George Soros pada krisis ekonomi 1998 di Asia Tenggara.

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *