JAKARTA, REPORTER.ID- Jantung Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur adalah Kampung Melayu. Dari Terminal Bus Kampung Melayu itulah orang-orang mudah menjangkau berbagai penjuru Jakarta dengan transportasi umum, baik mikrolet, mikrobus, bus kota maupun bus Trans Jakarta dengan koridor jalur buswaynya. Namun secara administratif terminal di kolong fly over Kampung Melayu itu sebetulnya masuk Kelurahan Bali Mester.
Itu pun sebenarnya tidak salah, sebab sejarah Kawasan Kampung Melayu memang meliputi juga sebagian wilayah Kelurahan Bali Mester. Menurut buku Asal-usul Nama Tempat di Jakarta terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta tahun 2004, kawasan itu disebut Kampung Melayu karena sejak paro kedua abad ke-17 dijadikan tempat permukiman orang-orang Melayu yang berasal dari Semenanjung Malaka, kini Malaysia. Mereka di bawah pimpinan Kapten Wan Abdul Bagus, anak Ence Bagus kelahiran Pattani, Thailand Selatan. Pada zamannya dia dikenal cerdas dan sangat piawai dalam melaksanakan tugas administratif di kantor maupun di lapangan sebagai perwira Kompeni Belanda.

Tak mengherankan bila kariernya menanjak bahkan pernah menjadi juru bahasa dan utusan Kompeni. Kapten Wan Abdul Bagus pernah terlibat perang Kompeni “membantu” Mataram menghadapi Pangeran Trunojoyo tahun 1670-an. Juga bersama Kompeni “membantu” Sultan Haji melawan ayahnya sendiri Sultan Ageng Tirtayasa di Banten tahun 1680-an. Kapten Wan Abdul Bagus terakhir dipercaya oleh Kompeni sebagai Regeringscommisaris, semacam duta ke Ranah Minang, Sumatra Barat sekarang. Kapten Melayu ini mempunyai anak bernama Wan Mohammad yang meninggal dunia lebih dahulu daripada ayahnya.
Makanya ketika Wan Abdul Bagus meninggal dunia tahun 1716 dalam umur 90 tahun, dia digantikan Wandullah anak tidak resminya.
Menurut sejarawan Belanda F. De Haan, Ratu Syarifah Fatimah yang kemudian membuat Kesultanan Banten geger atau heboh tahun 1750-an adalah janda Wan Mohammad, atau menantu Kapten Wan Abdul Bagus. Ratu Syarifah itu diasingkan ke Pulau Edam atau Pulau Damar di Kepulauan Seribu bersama pengikutnya. Ia meninggal dunia dan dimakamkan di pulau itu. Dengan demikian sejarah Kampung Melayu berkait dengan Kesultansn Banten dan Pulau Edam di Kepulauan Seribu.

Pulau seluas 36-an hektar itu sebagian besar hutan dan memiliki mercu suar dengan menara setinggi 52 M. Fasilitas navigasi ini dibangun Belanda pada masa Raja Willem III tahun 1879 dengan konstruksi plat besi berukir. Penulis pada tahun 2002 pernah naik ke puncak menara suarnya. Cukup melelahkan sebab harus menapaki tangga dengan lantai 17 tingkat. Namun puas memandangi keindahan Teluk Jakarta dengan Kepulauan Seribunya.
Rusunawa 16 Lantai Landmark Baru
Sejarah Kampung Melayu tidak berhenti di situ, dan masih berlanjut dengan suka duka warganya. Ini sangat berkaitan dengan letak perkampungan tua itu yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung yang berkelok kelok. Dengan sendirinya menjadi langganan banjir setiap hujan lebat di sebelah hulunya.
“Selama tahun 2020 ini sudah 5 kali banjir,” tutur Ketua RW 08 Kampung Melayu Tamsis.
Menurut catatan pihak Kelurahan, luas wilayah Kampung Melayu 47,83 hektar yang terbagi atas 9 Rukun Warga (RW) dan 106 Rukun Tetangga (RT) yang dihuni penduduk 30.932 jiwa dari 10.073 KK. “Dari jumlah itu yang terkena banjir ada 5 RW yang meliputi 30 RT,” kata Kepala Seksi Kesra dan Potensi Ekonomi Kampung Melayu, Nurma Sita Jumat (17/7/2020) melalui handphonenya.
Hal itu dibenarkan Lurah Kampung Melayu, H Setiawan, Minggu (19/7/2020). Tercatat untuk tahap ke-4 jumlah warga penerima bantuan sosial dari Gubernur DKI Jakarta 8.900 KK. “Itu sudah termasuk warga Rusunawa Jatinegara Barat,” kata Lurah Setiawan.
Diungkapkan, rumah susun sewa setinggi 16 lantai itu ada 2 menara, (tower), merupakan RW 09 , terdiri dari 8 RT, yang dihuni 518 Kepala Keluarga (KK) dengan 2.248 jiwa. Ketua RW 09 Bahrudin membenarkan itu. “Yang pasti, yang kami rasakan setelah direlokasi dari Kampung Pulo ke Rusun ini salah satunya tidak merasakan banjir lagi,” kata Bahrudin.
Dan yang paling mendasar pola hidup mereka kini menjadi jauh berbeda “Yang tadinya kami hidup dengan pola horisontal, kini harus beradaptasi dengan pola hidup vertikal,” ujarnya.
Camat Pulogadung Bambang Pangestu termasuk pelaku sejarah yang mengawal berdirinya Rusunawa yang kini menjadi landmark atau penanda baru kawasan Kampung Melayu itu. “Saya di Kampung Melayu sejak Maret 2012 sampai September 2015,” kata Bambang.
Dia yang saat itu menjadi Lurah Kampung Melayu mengalami harus melakukan penyuluhan kepada warganya perlunya normalisasi Ciliwung dan keharusan relokasi. Iapun mengalami pembongkaran gedung Sudin Teknis Jakarta Timur dan pemancangan tiang pertama pembangunan Rusunawa Jatinegara Barat jaman Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo Desember 2012 sampai relokasi warga Kampung Pulo ke Rusunawa tersebut akhir Agustus 2015 . Saat gubernurnya dijabat Tjahaya Purnama alias Ahok.
Sistem Peringatan Dini
Sering banjir menyebabkan tiap RW di Kampung Melayu harus siaga setiap saat menanggulanginya. “Ya sebagai RW Siaga, kami harus siap setiap saat. Wargapun demikian, sudah tahu bagaimana menghadapi air Ciliwung yang sering meluap,” kata Tamsis, Ketua RW 08 Kampung Melayu. Pihaknya juga memiliki hot line dengan petugas pintu air pengendali banjir di Bendung Katulampa.
” Informasi melalui pengeras suara di Pos RW selalu kami sampaikan mengenai ketinggian air, baik di Bogor, Depok maupun Manggarai. Dengan demikian kita bisa tahu berapa tinggi banjir yang akan terjadi, 9 atau 6 jam sebumnya,” kata Tamsis. Ia tinggal di RT 012/08 yang bila banjir airnya mencapai 1,8 meter.
RT lainnya 013, RT 014 dan RT 015 ternasuk paling awal terkena banjir minimal ketinggian airnya 1 meter. Namun di daerah tanah rendah itu semua rumah dibangun bertingkat sehingga dapat naik ke lantai atas bila banjir. “Yang paling berat saat harus membersihkan lumpur di lantai dan tembok paska banjir,” kata Tamsis. Karena itu sering pihak RW minta bantuan Sudin Damkar Jakarta Timur yang datang dengan pompa dan slang air. (Suprihardjo).