JAKARTA, REPORTER.ID – Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut Pimpinan DPR RI melakukan tebang pilih dalam memberi izin kepada komisi di DPR RI yang akan menggelar rapat ditengah masa reses ini. Buktinya, soal pembahasan RUU Cipta Kerja oleh Bales diizinkan, sementara rencana Komisi III DPR menggelar RDP gabungan untuk membahas kasus Djoko Tjandra hingga saat ini belum mendapat persetujuan.
Penilaian ini disampaikan peneliti Formappi, Lucius Karus dalam keterangan tertulisnya, Jumat (24/7/2020), menyikapi belum ditandatanganinya surat izin Komisi III DPR RI oleh Azis Syamsuddin selaku Wakil Ketua DPR RI yang membidangi Polkam tersebut.
Luzciuc mempertanyakan soal pembahasan RUU Cipta Kerja oleh Badan Legislasi pada masa sidang maupun reses. Namun di satu sisi, Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan aparat penegak hukum untuk membahas kasus Djoko Tjandra, justru harus dilakukan setelah masa reses.
“Pembahasan RUU Cipta Kerja yang secara nonstop dilakukan Badan Legislasi, baik pada masa sidang maupun sekarang pada masa reses menimbulkan persoalan serius, karena dengan begitu tugas melakukan kunjungan kerja ke dapil yang mestinya dilakukan anggota tidak bisa dilakukan,” ujarnya.
Namun di satu sisi, RDP Komisi III dengan aparat penegak hukum membahas kasus Djoko Tjandra justru harus dilakukan setelah masa reses. Menurut Lucius, pimpinan DPR melakukan tebang pilih dalam mengeluarkan surat izinnya.
“Pembahasan RUU Cipta Kerja dibolehkan pada saat reses, padahal ini jelas-jelas membuat anggota tidak bisa kembali ke dapil. Sedangkan waktu sekali atau sehari RDP yang diajukan Komisi III sebelum mereka kembali ke dapil malah ditolak. Kan kelihatan betul tebang pilih izin yang diberikan pimpinan DPR,” katanya.
Lucius menyebut tidak ada aturan dalam Tata Tertib (Tatib) DPR yang membedakan rapat pembahasan RUU dan rapat dalam fungsi pengawasan. Maka itu, dja menilai, aturan tatib yang dibuat DPR itu tidak konsisten.
Jika Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengacu pada Pasal 1 dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, khususnya aturan mengenai masa reses, alasan tersebut menurut Lusius dapat diterima.
Namun, dalam Pasal 52 ayat 2 menyebut apabila dalam masa reses ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, pimpinan DPR secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi.
“Pengecualian terhadap kegiatan selain reses yang dilakukan pada saat reses sudah disebutkan di pasal 52 di atas. Syaratnya: jika ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas…..yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan….maka pimpinan harus berinisiatif memanggil Bamus untuk mengadakan rapat…..Fraksi,” kata Lucius.
Jadi jelas, dikatakan Lucius bahwa reses itu tak bisa dialihkan suka-suka saja tanpa memenuhi syarat mendasar dan perlu segera diambil keputusan.
“Mungkin saja ada yang mengatakan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja merupakan sesuatu yang mendasar dan perlu segera diambil keputusan. Kalau begitu lalu apa yang membuat RUU ini berbeda dengan RUU prioritas lain,” katanya.
Adapun sebanyak 38 RUU Prioritas 2020 yang harus diselesaikan pada tahun ini. Lusius mempertanyakan soal RUU Cipta Kerja lebih prioritas dari yang lain padahal sama-sama disebut sebagai RUU Prioritas dalam peraturan DPR.
“Semua RUU diperlakukan sama karena itu tak ada RUU yang lebih prioritas dari yang lain, apalagi kalau karena itu pembahasannya rela dilakukan dengan mengabaikan kunjungan ke konstituen,” pungkas Lucius Karus. ***