Joko dan Aji Lembu Sekilan

oleh
oleh
Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI.

ADA dua Joko yang sama-sama digdaya dan sakti mandraguna. Joko yang satu adalah Joko Tingkir atau Mas Karebet. Dia bergelar Sultan Hadiwijaya saat jadi Raja di Pajang. Joko Tingkir punya banyak ajian, salah satunya adalah Aji Lembu Sekilan. Dengan ajian ini, ia tak mempan senjata. Yang satunya lagi adalah Joko Chandra, berstatus terpidana dan kini jadi buron. Seperti Joko Tingkir, si Joko Tjandra ini juga sakti. Mungkin ia juga punya Aji Lembu Sekilan sehingga tak pernah tersentuh penegak hukum yang memburunya.

Joko Chandra malah bisa menjinakkan para penegak hukum yang memburunya. Sehingga pelariannya selalu aman. Dua Joko ini sama-sama memiliki kemampuan untuk menghilang. Bedanya, Joko Tingkir telah menjadi legenda masyarakat karena kesaktian dan keluhuran budinya. Sedangkan Joko Tjandra bukan legenda, mungkin beberapa ratus tahun yang akan datang, Joko Tjandra akan jadi legenda oleh generasi di masa itu, karena kemampuannya menundukan sejumlah jenderal polisi, lurah, jaksa, dan sebagainya.

Joko di era modern ini, meskipun telah dinyatakan dihukum dua tahun dan diberikan red notice kepada Interpol sehingga kalau masuk ke Indonesia pasti akan ketangkap, ternyata tidak juga. Ia selalu bisa lolos. Malah dengan leluasa, masuk dan jalan-jalan di wilayah Indonesia tanpa tersentuh sedikit pun. Ia memang lihai, mungkin bukan hanya Aji Lembu Sekilan yang dimilikinya, tapi ajian lain yang lebih sakti.

Kenapa? Karena Joko Tjandra mampu membuat polisi Indonesia minta kepada Interpol untuk menghapus status buron internasional yang disandangnya. Para penegak hukum selalu mati kutu dan bertekuk lutut di hadapannya. Joko Chandra juga mampu mendapat surat jalan untuk jalan-jalan dari polisi yang mestinya menangkapnya. Malahan konon ketika jalan-jalan tersebut dia ditemani oleh oknum polisi yang mestinya menangkap dia. Malah jadi konsultannya polisi. Sakti banget ya.
Juga jangan lupa, dengan leluasa pula Joko datang ke kantor kelurahan untuk memperoleh e-KTP dan tanpa kesulitan. Konon hanya dalam waktu setengah jam dia sudah memiliki e-KTP baru. Semua itu dilakukan ketika dia masih dalam status buronan loh, luarbiasa kan? Kalah Joko Tingkir dibuatnya. Jangan-jangan si Joko modern ini bukan hanya punya Aji Lembu Sekilan tapi Aji Lembu Seribu Kilan.

Walaupun demikian, kita tidak bisa hanya menyalahkan Joko Chandra. Sebab dia hanya berupaya masuk ke Indonesia untuk menyelesaikan masalah hukumnya dan ternyata bisa ke Indonesia dengan lancar bin sukses. Namanya juga usaha. Kalau misalnya kita dilarang masuk ke Indonesia tentu kita akan melakukan daya upaya apapun agar bisa masuk ke Indonesia dengan lancar dan aman.

Lalu siapa yang harus disalahkan? Yang salah adalah oknum-oknum yang memberikan kesempatan bagi Joko untuk bisa masuk ke Indonesia. Tanpa bantuan mereka mana mungkin Joko bisa melenggang dengan aman dan jalan-jalan di Indonesia. Hanya pertanyaannya apakah bantuan seperti itu diberikan dengan gratis? Silakan pikir sendiri jawabannya.

Tapi menyalahkan oknum-oknum itu saja tentu kurang adil. Sebab yang melakukan “kesalahan” seperti oknum tersebut dalam banyak kasus yang lain, sudah sangat banyak dan sudah menjadi pengetahuan umum. Asal ada kemampuan “membeli” maka jadilah itu barang. Persis seperti kita ke pasar atau mal, ada uang ada barang. Ini masalah transaksi dua pihak yang saling menguntungkan.

Maka sengsaralah mereka yang dianggap melanggar hukum tapi tidak punya duit karena tidak bisa “membeli hukum”. Orang malang seperti itu pasti tidak bisa lepas dari jerat hukum meskipun pelanggaran yang mereka lakukan sifatnya remeh temeh. Ingat kan nasib perempuan tua yang dihukum karena mengambil dahan kayu di area perkebunan?
Itulah salah satu dari beberapa masalah utama di negeri kita ini. Begitu aparat penegak hukum bisa “dibeli” banyak hal bisa ambyar. Tidak akan ada lagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat seperti disebut dalam Pancasila. Yang ada tinggal keadilan menurut tafsiran masing-masing.
Padahal penghargaan terhadap hukum (Rule of Law) merupakan salah satu prasyarat penting bagi berjalannya demokrasi di suatu negara. Sebab penerapan hukum yang adil, tegas dan konsisten bisa menjamin adanya keadilan. Adanya keadilan bisa menimbulkan keamanan dan ketertiban yang selanjutnya akan menumbuhkan kepercayaan terhadap pemerintah.

Sebaliknya jika kepercayaan terhadap pemerintah menurun atau malahan hilang, kelanjutan demokrasi bisa terganggu karena akan timbul banyak penentangan baik kritik atau demo terhadap pemerintah. Yang gawat jika demo-demo merebak dan menjadi kerusuhan. Inilah yang disebut sebagai gangguan terhadap demokrasi.

Untuk mengatasi pelanggaran hukum seperti di atas, tidak cukup hanya melalui perbaikan sistem hukum seperti banyak disampaikan ahli hukum. Sistem hukum dan sistem apapun hanyalah buatan manusia. Jika manusianya moralnya bobrok, ambyar juga sistemnya.

Karena itu yang menjadi prioritas untuk dibenahi adalah perbaikan moral para pejabat khususnya di bidang hukum. Tapi darimana mulainya? Pendidikan dan kursus bagi para pejabat sudah banyak dan sering dilakukan di berbagai jenjang. Bukan hanya pendidikan dan latihan tehnis tapi berisi pendidikan moral juga. Namun hasilnya bagi perbaikan moral aparat kurang terasa.

Tinggallah harapan terletak pada teladan dan tindakan dari pejabat tertinggi di negara ini untuk memberikan contoh dan tindakan tegas terhadap aparat dibawahnya yang melanggar hukum. Berikanlah teladan kepada bawahan dan rakyat melalui kata-kata, prilaku dan kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.

Bersikaplah tegas terhadap bawahan yang melakukan kesalahan namun tetaplah bersikap adil. Sebab ada pepatah lama Raja adil raja disembah, Raja lalim raja disanggah. Tinggal pilih saja mana yang dimaui: disembah atau disanggah.

* Penulis adalah Gurubesar FISIP UI; Rektor Universitas Jayabaya, Jakarta.

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *