PDI-P PeringatI Serangan 27 Juli dengan Doa dan Tabur Bunga

oleh
Kerusuhan 27 Juli 1996 -- Penyerbuan kantor PDI di Jln Diponegoro, Sabtu (27/7/1996) oleh pendukung kubu Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Sebelumnya kantor PDI diduduki oleh massa pendukung Megawati. kompas/eddy basby *** Local Caption *** Kerusuhan PDIKerusuhan 27 Juli 1996: Penyerbuan kantor PDI di Jln Diponegoro 11.00 WIB: Massa yang memadati ruas jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak jumlahnya menjadi ribuan. Sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat stasiun Cikini. Mimbar bebas ini kemudian beralih ke Jl Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dengan aparat keamanan. 13.00 WIB: Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat, sehingga aparat terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), dan Jl Salemba.

JAKARTA, REPORTER.ID – PDI Perjuangan dan segenap lapisan masyarakat, khususnya penggiat HAM dan demokrasi, pada Senin (27/7/2020) ini memeringati peristiwa kelam serangan terhadap kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996 silam.

“Pemerintah Orde Baru selalu memilih jalan kekuasaan terhadap rakyatnya sendiri. Serangan tersebut tidak hanya menyerang simbol kedaulatan Partai Politik yang sah, namun juga membunuh demokrasi. Kekuasaan dihadirkan dalam watak otoriter penuh tindakan anarki,” demikian Sekjend PDI-P Hasto Kristiyanto, Senin (27/7/2020).

Meski kantor PDI luluh lanta kata Hasto, namun sejarah mencatat, energi perjuangan tidaklah surut. “Apa yang dilakukan oleh Ibu Megawati Soekarnoputri dengan memilih jalur hukum, di tengah kuatnya pengaruh kekuasaan yang mengendalikan seluruh aparat penegak hukum sangatlah menarik. Tidak hanya langkah itu menunjukkan keyakinan politik yang sangat kuat,” ujqrnya.

Tapi, keyakinan terhadap kekuatan moral itu terbukti mampu menggalang kekuatan demokrasi arus bawah. Kekuatan moral itu kata Hasto, mendapatkan momentumnya ketika seorang hakim di Riau yang bernama Tobing, mengabulkan gugatan Ibu Megawati. Di sinilah hati nurani menggalahkan tirani.

Menurut Hasto, kekuatan moral yang sama menghadirkan politik moral ketika dengan lantang Megawati Soekarnoputri meneriakkan ‘Stop Hujat Pak Harto’. Padahal rakyat tahu, bagaimana praktek deSukarnoisasi tidak hanya menempatkan Bung Karno dalam sisi gelap sejarah, namun juga keluarga Bung Karno mendapatkan berbagai bentuk tekanan dan diskriminasi politik.

Ketika menanyakan sikap Ibu Mega terkait hal tersebut, keluarlah jawaban yang diluar perkiraan saya: “Saya tidak ingin sejarah terulang, seorang Presiden begitu dipuja berkuasa, dan dihujat ketika tidak berkuasa. Rakyat telah mencatat apa yang dialami oleh keluarga Bung Karno,” jelas Haato.

Karena itulah lanjut Hasto, mengapa Bung Karno selalu berada di hati dan pikiran rakyat? “Kita tidak boleh dendam lalu hanya melihat masa lalu, dan melupakan masa depan,” tambahnya.

Dengan demikian, Kudatuli mengajarkan inti dari kekuatan moral politik. Dimana pilihan jalur hukum saat itu memperkuat moral pejuang demokrasi. Sehingga Kudatuli menjadi benih perjalanan reformasi dimana kekuatan rakyat menyatu dan mampu mengalahkan tirani.

“Di balik jatuhnya Pak Harto, Ibu Megawati telah mengajarkan politik rekonsiliasi, berdamai dengan masa lalu dan melihat masa depan. Disitulah hadir kekuatan moral seorang pemimpin,” pungkasnya.

Dan, Peringatan peristiwa 27 Juli ini di Kantor DPP PDI Perjuangan dilakukan dengan tabur bunga, doa, dan webinar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *