JAKARTA, REPORTER.ID— Indonesian Corruption Watch (ICW) mengapresiasi langkah Polri di bawah pimpinan Jenderal Polisi Idham Azis yang akhirnya berhasil meringkus buronan kelas kakap, terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali, Djoko S. Tjandra pada Kamis malam (30/7/2020). Disisi lain, ICW berharap agar Djoko Tjandra dapat kooperatif dalam menjalani masa hukuman.
“Serta memberikan informasi kepada penegak hukum tentang pihak-pihak mana saja yang turut membantunya dalam pelarian selama sebelas tahun terakhir,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada para awak media melalui keterangan tertulis, Jumat (31/7/2020).
Namun di luar dari itu, lanjut Kurnia, terdapat banyak pekerjaan rumah yang harus juga segera dituntaskan oleh lembaga-lembaga terkait.
“Yang pertama adalah pihak kepolisian. Polri harus mengembangkan terkait adanya kemungkinan petinggi Korps Bhayangkara lain yang juga terlibat dalam membantu pelarian Djoko Tjandra,” imbuhnya.
Kurnia juga meminta, Polri segera menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka atas dugaan menggunakan surat palsu untuk kepentingan tertentu sebagaimana tertuang dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP.
“Adapun poin ini merujuk pada tindakan yang bersangkutan saat menggunakan surat jalan dari Polri agar bisa melarikan diri,” jelasnya.
Kurnia juga mendesak, Polri harus segera berkoordinasi dengan KPK untuk mengusut tuntas dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Djoko Tjandra atau pun advokatnya terhadap pihak-pihak yang membantu pelariannya selama ini.
“Yang kedua adalah pihak kejaksaan. Kejaksaan Agung (Kejakgung) harus mengevaluasi kinerja dari Tim Eksekutor pencarian buronan Djoko Tjandra. Sebab, tim tersebut pada kenyataannya gagal meringkus terpidana kasus korupsi tersebut,” ungkapnya.
Kejakgung, desak Kurnia, harus mendalami terkait kepentingan atau motif dari Jaksa Pinangki Sirna Malasari ketika menemui Djoko Tjandra.
“Jika ada aliran dana dari Djoko Tjandra terhadap yang bersangkutan, maka sudah selayaknya Kejaksaan berkoordinasi dengan KPK untuk dapat memproses hukum atas sangkaan tindak pidana suap dan obstruction of justice,” tegasnya.
Tak hanya itu, Kurnia juga mendesak agar Korps Adhyaksa itu segera memberhentikan yang bersangkutan sebagai jaksa di Kejakgung.
“Yang ketiga adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KPK harus segera berkoordinasi, baik dengan kepolisian atau kejaksaan, untuk dapat menangani dugaan tindak pidana suap yang dilakukan Djoko Tjandra atau pun advokatnya serta dugaan obstruction of justice,” sarannya.
Yang keempat, tambah Kurnia, adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
“ICW mendesak agar DPR RI segera mengajukan hak angket terhadap lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pelarian dari Djoko Tjandra, yakni: kepolisian, kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Badan Intelejen Negara (BIN),” tuturnya.
Yang kelima, menurut Kurnia, adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana pelarian Djoko Tjandra ini seharusnya dapat dijadikan momentum bagi dirinya untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga terkait, yakni: Mabes Polri, Kejakgung, Kemkumham (dalam hal ini Dirjen Imigrasi), dan BIN.
“Sebab, jika tidak ada evaluasi mendalam, maka tidak menutup kemungkinan di masa mendatang buronan korupsi lainnya akan melakukan tindakan serupa dengan yang dilakukan Djoko Tjandra,” terangnya.
Kurnia pun mengingatkan, Djoko Tjandra ini hanya satu dari sekian banyak buronan yang masih tersebar di beberapa negara.
Catatan ICW, sambung Kurnia, masih tersisa 39 buronan korupsi lagi yang belum dapat ditangkap oleh penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, dan KPK).
“Tentu ini harus menjadi fokus bagi pemerintah, terlebih lagi jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh para buronan tersebut terbilang fantastis, yakni mencapai Rp53 triliun,” pungkasnya. ***