DPR: Internet dan Gawai, Dua Syarat Mutlak Pembelajaran Jarak Jauh

oleh

JAKARTA, REPORTER.ID – Pembelajaran jarak jauh (PJJ) telah berlangsung beberapa bulan terakhir sebagai dampak pandemi Covid-19. Dalam keberjalanannya, terdapat banyak aspirasi yang telah disampaikan berbagai pihak, baik guru, siswa, maupun orangtua murid.

Dari banyaknya evaluasi yang masuk, keluhan yang dominan adalah terkait minimnya akses terhadap internet, keterbatasan gawai, dan tingginya biaya kuota. Sayangnya, setelah lebih dari 4 bulan keberjalanan PJJ, keluhan-keluhan tersebut masih juga muncul sebagai masalah yang paling dominan.

“Padahal, ketiga hal itu merupakan elemen-elemen yang sangat esensial bagi keberjalanan pembelajaran. Ini berarti, terlepas dari berbagai upaya yang telah dilakukan, pemerintah belum berhasil memberikan solusi bagi masalah yang muncul selamq PJJ ini dilaksanakan,” demikian Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Munggu (2/8/2020).

Waketum Golkar itu mengakui kalau menyelesaikan masalah ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masalah pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang telah menumpuk selama bertahun-tahun tidak mungkin mendadak diselesaikan dalam semalam. “Begitu juga keberadaan gawai belajar bagi setiap anak dan guru, mengingat selama bertahun-tahun kita saja belum mampu menyediakan perangkat TIK yang memadai bagi setiap sekolah,” ujarnya.

Namun demikian, bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilakukan. Tapi, pembiaran atas kondisi ini kata Hetifah, sama halnya dengan membiarkan jurang kesenjangan antar kelompok masyarakat makin melebar.

“Keadaan krisis membuat kita harus membuat terobosan-terobosan yang berbeda dari kondisi normal. Dan, terobosan itulah kata Hetifah, yang belum dilakukan secara signifikan dalam menghadirkan 2 hal paling krusial dalam PJJ untuk seluruh anak Indonesia tersebut.

Menurut Kemenkominfo pada rapat Panitia Kerja PJJ Komisi X DPR Juli lalu, disampaikan bahwa terdapat 12.548 desa/kelurahan yang belum terjangkau internet 4G di seluruh Indonesia. Sebagian besar atau 9.113 desa/kelurahan berada di daerah 3T. Dari semua wilayah Indonesia, hanya 49,33 persen yang telah mendapatkan jaringan 4G, 44,35 persen mendapat jaringan 3G, dan 68,54 persen yang telah mendapat jaringan 2G.

Itu artinya, terdapat 31,46 persen luas wilayah Indonesia yang belum mendapatkan akses internet sama sekali. “Memang beberapa upaya telah dilakukan Kemenkominfo dalam proyek percepatan layanan internet. Antara lain, dengan rencana on-going penyediaan layanan 4G untuk 1.097 desa/kelurahan di daerah 3T yang ditargetkan selesai tahun ini,” kata Hetifah.

Selain itu, ada pula rencana penyediaan akses internet di 7.554 lokasi yang mencakup titik-titik pelayanan publik seperti kantor pemerintah, puskesmas, dan sekolah. Upaya-upaya tersebut perlu diqpresiasi. Meski demikian, harus sama-sama diakui bahwa hal tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat.

Menurut Hetifah, bukan hanya kantor dan fasilitas pelayanan publik yang membutuhkan akses internet. “Tapi, jutaan anak-anak di ribuan desa/kelurahan yang belum terjangkau internet tidak dapat dibiarkan menunggu terlalu lama. Perlu ada inovasi-inovasi yang mempercepat pembangunan ini hingga 2-3 kali lipat dari keadaan normal,” tambahnya.

Perlu ada pembaruan skema-skema dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi hingga ke pelosok. Pihak swasta pun harus digandeng dalam hal ini, baik melalui skema User Service Obligation (USO), Corporate Social Responsivility (CSR), maupun Public Private Partnership (PPP). Intinya, pemerintah dan pemangku kepentingan harus kreatif dan tidak bisa mengandalkan cara-cara lama dalam mengatasi permasalahan di era krisis ini.

“Apalagi, jika hambatan-hambatan yang ada lebih bersifat birokratis. Padahal, soal gawai, kami dalam rapat bersama Kemendikbud telah menyarankan pengadaan gawai sederhana bagi siswa dan guru yang membutuhkan. Hal ini tidak terlepas dari kesadaran bahwa kepemilikan gawai baik telepon pintar maupun laptop bagi banyak kelompok masyarakat masih merupakan suatu kemewahan, dan pemerintah tidak dapat menutup mata akan hal tersebut,” jelas Hetifah.

Karena itu dia menyarankan adanya produksi gawai dalam negeri dengan menggandeng Kemenperin dan juga universitas-universitas nasional yang kami yakin memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Meski demikian, hingga saat ini belum ada kelanjutan yang kami lihat akan ide tersebut.

Pendataan yang akurat adalah kunci dalam keberhasilan program ini. Berapa tepatnya siswa, guru, orangtua yang belum memiliki gawai belajar memadai? Untuk menjawab satu pertanyaan ini saja saat ini kita belum mampu. “Tanpa adanya basis data yang akurat, sulit bagi kita untuk memetakan kebutuhan dan menyediakan bantuan yang tepat guna. Memetakan data untuk Indonesia yang begini luasnya tentu tidak sederhana,” ungkapnya.

Namun sekali lagi, hanya karena itu sulit bukan berarti hal tersebut tidak dapat dilakukan, dan pembiaran menjadi dibenarkan.

Belakangan ini, banyak inisiatif-inisiatif yang diadakan berbagai kelompok masyarakat dalam membantu mereka yang kurang beruntung dalam pelaksanaan PJJ. Antara lain, program-program bantuan dalam bentuk kuota atau gawai bekas pakai. Inisiatif-inisiatif ini patut diapresiasi dan dirangkul.

“Saya sangat percaya akan niat baik dan semangat gotong royong yang masih kental dalam budaya masyarakat kita. Namun demikian, masyarakat memiliki keterbatasannya. Sebagai contoh, masyarakat tidak mengetahui gambaran besar siapa yang paling membutuhkan bantuan-bantuan tersebut. Masyarakat hanya dapat memberikan bantuan kepada orang-orang di sekitar mereka yang terlihat membutuhkan,” kata Hetifah lagi.

Di sinilah peran pemerintah diperlukanuntuk memperlihatkan peta yang lebih besar dan data yang akurat untuk memfasilitasi penyaluran bantuan tersebut kepada orang-orang yang paling kesulitan. Saya yakin, jika ada gerakan besar yang diorganisir oleh Kemendikbud, antusiasme masyarakat untuk membantu sesamanya akan sangat tinggi, dan jumlah mereka yang terbantu dapat meningkat secara signifikan,” tutur Hetifah.

Tentu perlu waktu hingga ketersedian gawai dan internet bagi seluruh stakeholder pendidikan terpenuhi secara menyeluruh. Dalam jeda waktu tersebut, cara-cara lain harus mengoptimalkan untuk setidaknya mempersempit kesenjangan yang ada.

Sebagai contoh, adanya program belajar dari rumah dari TVRI merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi, karena jangkauannya yang mencakup wilayah yang lebih luas dibandingkan internet. Hampir semua rumah juga telah memiliki televisi, berbeda dengan telepon pintar ataupun laptop. Kanal ini harus dioptimalkan dalam menyediakan konten pembelajaran berkualitas bagi seluruh anak Indonesia.

Selama ini, tayangan pembelajaran ditayangkan di kanal TVRI dengan jam tayang pukul 08.00-11.00 pagi, dan mencakup jenjang PAUD hingga SMA/SMK. Hal ini tentu tidaklah cukup, karena ini berarti anak hanya mendapatkan 30 menit pembelajaran setiap harinya sesuai jenjangnya. Apalagi, materi pembelajaran yang digeneralisir tiap jenjang tentu tidak efektif dan tidak sesuai dengan kurikulum yang seharusnya. Sebagai contoh, anak kelas satu SMP mendapatkan materi yang sama dengan anak kelas tiga SMP. Hal ini berpotensi menimbulkan redundansi akan materi-materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Karena itu, DPR menyarankan TVRI bekerjasama dengan Kemendikbud menyediakan beberapa kanal tambahan TVRI khusus pendidikan. Sebagai contoh, dapat dibuat kanal tambahan TVRI Sekolah Dasar, TVRI Sekolah Menengah Pertama, dan TVRI Sekolah Menengah Atas. Dalam kanal-kanal tersebut, dapat ditampilkan materi-materi pembelajaran sesuai jenjang secara bergantian. Misalnya, di kanal TVRI SMP pada pukul 07.00-11.00 pagi ditayangkan materi pembelajaran kelas 1, pada pukul 11.00-15.00 kelas 2, dan pada pukul 15.00-19.00 materi untuk kelas 3 SMP.

Meskipun metode ini masih jauh dari ideal, namun demikian ini lebih baik dari kondisi saat ini dimana materi untuk setiap jenjangnya sangat minim dan jauh dari capaian kurikulum.

“Ingat, pendidikan merupakan hak setiap anak bangsa yang telah diamanatkan dalam konstitusi. Di masa yang sulit ini, hak dasar tersebut tidak lantas menjadi boleh untuk tidak dipenuhi. Kita tidak dapat menyalahkan keadaan untuk menjadi alasan berpangku tangan. Sebaliknya, justru dengan adanya keadaan yang tidak biasa, upaya kitalah yang harus menjadi luar biasa. Kami menunggu terobosan-terobosan dari pemerintah, dan kami di Komisi X DPR siap bergandeng tangan mendukung upaya-upaya tersebut,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *