SELALU ketika dunia dilanda krisis ekonomi, emas menjadi pilihan yang diburu para investor. Kali ini juga begitu, Sabtu kemarin (1/8/2020), harga Logam Mulia berada di Rp 1.028.000/gram. Melonjak Rp 12.000 (1,18%) dibandingkan sebelum libur Idul Adha.
Terkait kondisi ini banyak klien dan mitra bisnis yang bersyukur karena saran dan pertimbanganku selama ini, mengingat peluang profit yang dipetiknya. Walau tak sedikit yang tak bisa bergerak lagi, sekalipun menyadarinya. Sudah keburu ‘kehabisan peluru’.
Kini aksi profit taking sepertinya sudah mereda, dan pelaku pasar kembali melihat resesi yang terjadi dimana-mana. Eropa, Asia bahkan USA (negara Adikuasa) akhirnya menyatakan mengalami resesi.
Produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 dilaporkan mengalami kontraksi 32,9%. Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah USA.
Di kuartal I-2020, perekonomiannya mengalami kontraksi 5%, sehingga sah sudah mengalami resesi.
Sepanjang sejarah USA bukan kali ini saja mengalami resesi, melansir Investopedia, USA sudah mengalami 33 kali resesi sejak tahun 1854. Sementara jika dilihat sejak tahun 1980, Negeri Paman Sam mengalami empat kali resesi, termasuk yang terjadi saat krisis finansial global 2008. Artinya, resesi kali ini akan menjadi yang ke-34 bagi USA.
USA bahkan pernah mengalami yang lebih parah dari resesi, yakni Depresi Besar (Great Depression) atau resesi yang berlangsung selama 1 dekade, pada tahun 1930an. Tetapi kontraksi ekonominya tidak sedalam di kuartal II-2020.
Sementara Indonesia masih belum terlihat langkah-langkah progresifnya. Padahal Presidennya sudah marah-marah loh, sibuk-sibuk juga sudah dilakukan, tapi belum ‘terlihat kemungkinan selamat’ dari resesi yang mengancam di depan mata. Bahkan sebagian masyarakat sudah ‘seleher’ ( seolah digenangi air bah, sebatas leher). Berdasarkan data yang yang dipublikasi per-tanggal 22 Jui lalu, realisasi anggaran stimulus mendorong geliat UMKM di tengah pandemi baru sekitar 25 persen dari alokasi Rp123,46 triliun. Sementara program penangan Covid-19 dan serapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional PEN secara keseluruhan baru mencapai 19 persen.
Seperti diakui Presiden Jkw sendiri, bahwa “Stimulus penanganan Covid-19 masih belum optimal dan kecepatannya masih kurang. Data tanggal 22 Juli , data terakhir yang kami ‘review’, dari stimulus penanganan Covid-19 sebesar Rp695 triliun, yang terealisasi baru Rp 136 triliun artinya baru 19 persen”.
Untuk sektor UMKM, program yang dirancang pemerintah sendiri sebenarnya cukup lengkap mulai dari subsidi bunga, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit, belanja imbal jasa penjaminan (IJP), insentif berupa pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) Final UMKM sebesar 0,5 persen.
Akibat lambatnya realisasi program PEN, dampaknya membuat banyak UMKM harus berusaha mencari permodalan sendiri. Beberapa di antaranya bahkan memilih untuk tutup sementara karena tak bisa mengakses pembiayaan murah.
Selanjutnya jika terus seperti ini dapat dipredik apa yang terjadi. Jadi tolong dech….realistis, hentikan angin surga. Sekali lagi, lakukan langkah strategis. Segera salurkan, gelontorkan dana ke masyarakat. Pertimbangkan segera Postpone ke tahun depan proyek infrastruktur yang tidak menjadi katalis dalam mengurangi dampak resesi Indonesia yang sudah di depan mata. Bila perlu segera lakukan semacam Bantuan Langsung Tunai (BLT) keseluruh rakyat kelas menengah yang terdampak covid-19, tak hanya sebatas rakyat miskin. Sebagaimana pernyataan Chatib Basri beberapa waktu lalu, tentang membagikan BLT sebesar Rp.1 juta, dengan mengalihkan sementara dana infrastruktur. Artinya dengan memperbesar BLT yang Rp.600,000 sekarang ini, memperluas jangkauannya dan jangan direcoki dengan Program Kartu Prakerja segala. ***
* Penulis: Direktur Eksekutif Cikini Studi dan Analis Finance