Mantan Hakim Agung MA, Prof. Dr. Topane Gayus Luumbun, SH, MH mengaku bangga dan lega dengan tertangkapnya terpidana buron kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra di Malaysia beberapa hari lalu. Secara khusus, pria kelahiran Manado, 19 Januari 1948 ini menyampaikan apresiasi kepada pemerintah dan negara, dalam hal ini jajaran Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM atas keberhasilan tersebut.
Menurut politisi PDIP ini, kedaulatan negara mulai bangkit kalau buronan yang mempermalukan negera mampu ditangani dengan baik. Gayus juga menjelaskan soal hukum, norma hukum, soal asas, soal undang-undang, soal negara hukum, dan sebagainya. Berikut petikan wawancara lengkap yang dilakukan reporter.id (W) dengan Prof. T. Gayus Luumbun, SH, MH (GL) di Jakarta, hari ini, Kamis (6/8).
W : Menurut Anda, apakah kasus pelarian Djoko Tjandra akan berhenti sampai di sini?
GL : Saya kira tidak. Artinya, tidak akan berhenti sampai di sini, karena masih menyisakan berbagai urusan yang belum terselesaikan. Di antaranya, masalah-masalah yang ditinggalkan dan mungkin akan digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, untuk kepentingan hukum membela dan menerobos masalah yang dihadapi Djoko Tjandra.
Kalau kita bicara masalah hukum, yang pertama adalah soal peninjauan kembali (PK) yang dilakukan kejaksaan. Ini menjadi pembicaraan hangat di masyarakat. Apakah PK jaksa itu sah, apakah bisa batal karena cacat hukum. Secara praktek hukum bisa dibangun dengan baik.
Tidak ada keputusan pengadilan yang bisa disandingkan dengan aturan, undang-undang, perpres, dan sebagainya. Itu adalah undang-undang. Ketika undang-undang ini hidup di masyarakat atau the living law, maka itu baru hukum. Undang-undang jadi hukum.
W : Negara kita negara hukum, bukan negara undang-undang, menurut Anda?
GL : Ya, negara kita adalah negara hukum, bukan negara undang-undang. Jadi kalau banyak yang mengutip undang-undang, itu baru mengutip separo dari hukum. Dia (undang-undang, red) belum living. Nah, di mana living-nya? Living-nya adalah bila undang-undang sudah masuk ke ruang pengadilan dan diputus oleh hakim. Maka keputusan pengadilan itu hukum yang kongkret yang harus dilakukan atau dijalankan, tidak boleh kabur.
W : Jadi, kongkretnya bagaimana?
GL : Walaupun undang-undang mengatur jaksa tidak boleh ajukan PK, itu undang-undang. Dalam khasanah hokum, itu baru masuk di ruang hampa. Jadi masihi abstrak. Yang kongkret adalah bila sudah diputus hakim di pengadilan dan putusan itu harus dijalankan.
Itu baru hukum namanya. Itu living law. Harus pengadilan dan diputuskan oleh hakim karena negara kita negara hukum bukan negara undang-undang. Sekali lagi, Indonesia itu negara hukum, sesuai yang tertuang dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945.
W : Menurut Anda, UU itu apa?
GL : Ada baiknya saya berikan penjelasan dulu soal undang-undang. Ada yang menyebut undang-undang itu asas atau law principle. Itu berarti tak bisa berdiri sendiri. Harus dilakukan atau dijalankan melalui konsep yang namanya norma atau legal norm. Namun itu baru di tataran abstrak, belum kongkret.
Tapi menurut saya, asas ini gagasan yang bagus, meskipun tak bisa jalan sendiri, norma belum bisa dieksekusi, harus melalui tahapan selanjutnya. Norma ini harus dibawa dulu ke di pengadilan untuk diputuskan. Jadi, norma tidak bisa serta merta digunakan di masyarakat.
Misalnya, undang-undang mengatakan mencuri itu harus dipotong tangannya. Meskipun undang-undang mengatakan begitu, tapi itu tidak bisa dilakukan atau dijalankan secara serta merta, harus dibawa ke pengadilan dulu dan diputuskan oleh hakim. Begitu juga misalnya soal paspor Djoko Tjandra dan katanya sudah pindah jadi warganegara negara lain sehingga dia dianggap bukan warga negara Indonesia lagi.
Saya piker tidak bisa ujug-ujug begitu. Harus diputuskan dulu di pengadilan. Tidak bisa tiba-tiba, misalnya pemerintah menetapkan itu tanpa melalui proses pengadilan. Penetapannya harus melalui keputusan pengadilan. Apa sebabnya harus dibawa ke pengadilan? Karena Indonesia adalah negara hukum. Semua kehidupan kenegaraan harus seperti itu, penetapannya harus melalui proses peradilan. Kenapa? Karena kita ini negara hukum, bukan negara undang-undang.
W : Kembali soal PK yang diajukan jaksa dan diputus pengadilan, menurut Anda Bagaimana?
GL : Begini loh, PK yang diajukan jaksa dan telah diputuskan oleh hakim di pengadilan, itu sebagai hukum yang harus ditaati. Tidak boleh diabaikan.
W : Lalu harapan Djoko Tjandra ke depan bagaimana? Apakah dia bisa ajukan PK?
GL : Saya berpendapat, pada hakekatnya PK itu permohonan, harus dilandasi good faith atau etikat baik, harus diniati dengan kehendak yang baik dalam mengajukan permohonan PK. Harus ada sesandingannya, yakni yang namanya kewajiban. Masalahnya, apakah dia sudah memenuhi kewajiban, dalam hal ini menjalani hukuman yang diputus pengadilan? Saya kira tidak bisa dia minta haknya saja. Harus juga memenuhi kewajiban yang diputuskan pengadilan. Itu saya kira. Ia harus menghormati putusan pengadila dam menjalankan putusan hakim.
W : Kan dia lari, lalu jadi buronan, bagaimana ini?
GL : Semua itu sudah diatur dalam pasal-pasal tentang PK. Selain itu juga ada persyaratan yang lain, yakni orangnya harus hadir waku mengajukan PK. Jadi, harus jelas orangnya itu siapa, alamatnya di mana, selama ini mentaati hukum apa tidak? Memenuhi kewajiban yang diputuskan pengadilan apa tidak. Semua syarat itu harus dipenuhi.
Selain itu syarat kongkret yang diatur dakam undang-undang, di antaranya adalah adanya novum, adanya kelalaian hakim yang nyata, adanya pertentangan bukti, dan sebagainya. Boleh saja kita punya pemikiran yang baik atas undang-undang. Tapi undang itu belum tentu hukum, maksdunya belum merupakan hukum yang kongkret.
W : Jadi, kongkretny seperti apa?
GL : Hukum itu kewenangan hakim. Hak tertinggi hakim adalah mengunakan peraturan undang-undang untuk menciptakan putusan di mana putusan menjadi hukum yang kongkret. Itu saja saya kira. Sebelum saya akhiri perbincangan ini, saya sampaikan bahwa ada buku tentang hukum yang bagus. Judulnya, The Model of Rule. Saya kira ini nenjadi buku pegangan para hakim kita. (*)