JAKARTA, REPORTER.CO.ID – Mengingat sudah lama yaitu sejak 2002 RUU Penyiaran yang akan dibahas di DPR RI terus dilakukan revisi dan hingga sampai hari ini belum juga selesai, sebaiknya ditarik dulu dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas), karena materinya banyak yang ketinggalan. Selanjutnya, setelah diperbaiki bisa dimasukkan pada Oktober 2020 mendatang.
“Kalau pun dipaksakan akan diselesaikan pada September 2020 ini tidak mungkin. Jadi, sebaiknya ditarik dulu untuk kemudian dimasukkan lagi pada Oktober mendatang, sambil menunggu selesainya RUU Perlindungan Data Pribadi,” tegas Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari.
Hal itu disampaikan Abdul Haris pada program legislasi “RUU Penyiaran: Bagaimana Masa Depan Digitalisasi Penyiaran di Indonesia?” bersama anggota Komisi I DPR RI Fraksi PPP Syaifullah Tamliha, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano, Staf Ahli Menteri Bidang Hukum Kemenkominfo Prof. Dr. Henri Subiarto, dan Pengamat Penyiaran/Wakil Rektor I UIN Sunan Kalijaga Prof Dr. Iswandi Syahputra, di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (11/8/2020).
Politisi PKS itu lebih lanjut mengatakan, perlu singkronisasi digitalisasi ke analog, frekuensi harus diperuntukkan bagi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, perlunya pengawasan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena banyak konten dan materi-materi yang berbahaya bagi anak-anak. “Karenanya, DPR mendukung penguatan peran KPI untuk pengawasan tersbeut,” ujarnya singkat.
Henri Subiarto mendukung materi RUU Penyiaran disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi saat ini, agar memiliki payung hukum yang konkret, negara tidak dirugikan dan manfaatnya besar bagi seluruh rakyat Indoensia. “Kini semua orang bisa bikin radio, TV, dan jaringan lain dengan internet, sehingga RUU Penyiaran sebagai payung hukum itu harus cepat selesai,” katanya.
Ia khawatir terus macetnya pembahasan RUU Penyiaran sejak 2002 itu karena ada pengusaha TV masuk untuk mempertahankan bisnis dengan teknologi masa lalu. Padahal, perkembengan digitalisasi sudah canggih. Bahkan 97 persen masyarakat pengguna digital, dan sisanya baru menonton TV. “KPI memang harus diperkuat untuk pengawasan konten, tapi bukan pemberi izin,” tambah Hendri.
Dunia digital dan ambruknya TV itu merupakan trend dunia. Dan, di Indonesia saat ini masih terdapat 1245 desa yang belum ada jaringan internetnya, tapi pada 2021 semua akan selesai. Karena itu, kenapa pemerintah ingin RUU Penyiaran itu segera gol, kata Hendri, mengingat seluruh dunia sejak 2006 sudah menggunakan digitalisasi tersebut dan ini untuk kepentingan anak cucu.
Sebab, untuk layanan 4G saja lanjut Hendri, itu akan membuka 264 ribu lapangan kerja plus dengan UU Omnibus Law negara akan diuntungkan hingga Rp77 triliun, dan akan memberi manfaat besar bagi masyarakat per bulannya dengan keuntungan Rp161 triliun. “Kalau kita tak kejar RUU Penyiaran itu, berarti lebih jahat dari Djoko Tjandra,” jelas dia.
Tapi, kalau masih mempertahankan TV yang lama, maka negara akan dirugikan Rp10 triliun per bulan. Karena itu, kenapa RUU Penyiaran dihambat terus? “Saya khawatir ada pengusaha TV lama yang ingin mempertahankan bisnis model lamanya, tapi negara dirugikan. Jadi, yang menentang RUU Omnibus Law itu pemikiran teknologinya masih 20 tahun lalu. Seperti kampus-kampus yang menentang, pemikirannya 20 tahun lalu,” pungkasnya.