Oleh: Iskandar Hadrianto
“Palestina memperingatkan, langkah seperti itu akan menghancurkan harapan mereka terhadap negara Palestina merdeka di masa depan. Manuver ini melanggar hukum internasional. Sikap Palestina termaksud didukung oleh sebagian besar masyarakat Internasional termasuk Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan negara ini dalam formula ‘two states’ yang adil dan berimbang”
Israel dan UEA – Uni Emirat Arab (Kamis, 13 Agustus 2020) umumkan untuk menjalin hubungan diplomatik dan ciptakan hubungan baru lebih luas. Hal ini adalah sebuah langkah yang positif guna membentuk kembali tatanan politik Timur Tengah dari masalah Palestina hingga perang melawan Iran.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres menyambut baik setiap prakarsa yang dapat meningkatkan perdamaian dan keamanan di kawasan Timur Tengah.
Israel dan UEA berhasil mencapai kesepakatan normalisasi hubungan pasca, Israel ‘setuju’ menangguhkan rencana kontroversial mencaplok bagian Tepi Barat yang diduduki.
Hingga saat ini, Israel belum memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara Teluk Arab (Arab Gulf States – AGS). Tetapi ‘kekhawatiran bersama’ terhadap ancaman Iran tampakya menyebabkan lahirnya ‘kontak tidak resmi’ diantara Israel dan AGS. Maklumat ini sangat mengejutkan para pemimpin Palestina. Jurubicara Presiden Mahmoud Abbas mengatakan, kesepakatan UEA-Israel sama dengan “pengkhianatan”. Akibatnya, Duta Besar Palestina untuk UEA ditarik pulang.
Inti Kesepakatan:
Delegasi Israel dan UEA segera bertemu untuk menandatangani kesepakatan bilateral mengenai: keamanan, investasi, pariwisata, penerbangan (direct flight), telekomunikasi, teknologi, energi, perawatan kesehatan, budaya, lingkungan. Termasuk pembukaan misi diplomatik tingkat kedutaan secara timbal balik (reciprocal) dan bidang kerjasama lainnya yang saling menguntungkan & bermanfaat (mutual cooperation). “Membuka hubungan langsung antara dua masyarakat paling dinamis di Timur Tengah dan ekonomi maju diyakini dapat mengubah situasi bermusuhan di kawasan, utamanya dengan memacu pertumbuhan ekonomi, meningkatkan inovasi teknologi dan menjalin hubungan antar masyarakat (people-to-people relationship) yang lebih dekat,” termaksud dalam pernyataan bersama. Israel juga akan “menangguhkan deklarasi kedaulatan atas wilayah yang digariskan” dalam Visi Presiden Trump untuk Perdamaian antara Israel dan Palestina, di mana sebelumnya Trump mendukung rencana Israel untuk mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Lembah Yordania yang strategis.
Namun dalam pernyataan mengejutkan Presiden AS yang membantu menengahi Issue Israel-Palestina-dan Negara-Negara Arab, Donald Trump menyebut kesepakatan UEA-Israel “bersejarah” dan mencitrakan terobosan menuju perdamaian. Presiden Trump menyebut kesepakatan antara Perdana Menteri (PM) Netanyahu dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed Al Nahyan sebagai “momentum yang benar-benar bersejarah”.
Peristiwa penting tersebut menandai kesepakatan damai Arab-Israel ketiga sejak deklarasi kemerdekaan Israel (1948). Sebelumnya, 2 (dua) Negara Arab: Mesir dan Yordania telah menandatangani pakta damai dengan Israel.
Kemenangan kebijakan luar negeri:
Dalam pidato TV, PM Netanyahu menegaskan “penundaan” rencana aneksasi Tepi Barat. Tetapi rencana itu tetap “di atas meja”. Aneksasi akan membuat beberapa wilayah Tepi Barat secara resmi menjadi bagian dari Israel. “Tidak ada perubahan dalam rencana saya untuk menerapkan kedaulatan Israel di wilayah Yudea dan Samaria (West Bank -Tepi Barat) dalam koordinasi penuh dengan AS. Saya berkomitmen untuk itu. Itu tidak berubah. Saya ingatkan Anda bahwa saya adalah orang yang menempatkan masalah kedaulatan atas Yudea dan Samaria di atas meja. Masalah ini tetap di atas meja,” tegas PM Netanyahu.
Sebaliknya, PM Netanyahu mengatakan Israel akan bekerja sama dengan UEA dalam mengembangkan vaksin virus korona, energi, air, perlindungan lingkungan dan beberapa bidang kerjasama mutual lainnya.
Para pengamat memprediksikan, bahwa kesepakatan itu bisa berarti kemenangan kebijakan luar negeri bagi Presiden Trump, yang akan mencalonkan diri kembali pada Pilpres AS November 2020. Sekaligus memberikan dorongan pribadi kepada PM Israel Benjamin Netanyahu yang diadili atas tuduhan korupsi. Kedua pemimpin ini telah melihat penurunan peringkat persetujuan sebagai respon mereka terhadap pandemi virus corona yang tak kunjung reda. Di Israel, beberapa “Diehard” sayap kanan yang getol ingin mencaplok Tepi Barat mengungkapkan kemarahan atas pengumuman tersebut.
Duta Besar UEA untuk AS, Yousef Al Otaiba, mengatakan kesepakatan dengan Israel adalah “kemenangan untuk diplomasi dan untuk kawasan”. Ybs juga menambahkan: “Ini adalah kemajuan signifikan dalam hubungan Arab-Israel yang dianggap sebagai batu-loncatan untuk menurunkan ketegangan dan menciptakan “energi baru positif” berupa hembusan angin perubahan menuju perdamaian”.
Menteri Luar Negeri UEA untuk Urusan Luar Negeri Anwar Gargash mengatakan, pengakuan UEA atas Israel adalah “langkah yang sangat berani” untuk menghentikan “bom waktu” dari aneksasi Israel di Tepi Barat. Anwar mengatakan UEA melihat ini sebagai “penghentian aneksasi, bukan penangguhan”. Ditanya tentang kritik Palestina terhadap langkah UEA, Anwar menyadari bahwa wilayah itu sangat terpolarisasi dan dia berharap mendengar “suara biasa”. “Kami menderita karena ini,” katanya, tetapi akhirnya memutuskan “mari kita lakukan”.
Pernyataan bersama (Join Statement) sebut Israel akan “memfokuskan upayanya sekarang pada perluasan hubungan dengan negara-negara lain di dunia Arab dan Muslim”. Disebut juga bahwa AS dan UEA akan bekerja untuk mencapai tujuan itu. UEA dan Israel juga akan bergabung dengan AS untuk meluncurkan “Agenda Strategis untuk Timur Tengah”, dengan tiga pemimpin menyatakan bahwa mereka “memiliki pandangan yang sama mengenai ancaman dan peluang di kawasan, serta komitmen bersama untuk mempromosikan stabilitas melalui keterlibatan diplomatik, peningkatan integrasi ekonomi dan koordinasi keamanan yang lebih erat “.
Reaksi internasional:
PM Inggris Boris Johnson mengatakan “itu adalah harapan saya yang terdalam bahwa aneksasi tidak berlanjut di Tepi Barat dan kesepakatan hari ini untuk menangguhkan rencana tersebut adalah langkah yang disambut baik di jalan menuju Timur Tengah yang lebih damai”.
Dalam pada itu, Presiden Mesir Abdel Fattah As-Sisi menyambut baik kesepakatan itu. Sementara Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi mengatakan perjanjian itu dapat membantu mendorong negosiasi perdamaian yang selama ini terhenti. Negara Arab Mesir menandatangani kesepakatan dengan Israel pada 1979 dan Yordania 1994. Mauritania juga menjalin hubungan diplomatik dengan Israel tahun 1999, tapi lantas membekukan kesepakatan pada 2009.
Tetapi, pejabat senior Palestina Hanan Ashrawi mengutuk kesepakatan dengan mengatakan bahwa UEA telah ” membuat kesepakatan / normalisasi rahasia dengan Israel”. Selanjutnya Hanan mengatakan kepada Pangeran Mohammed, “Semoga Anda tidak pernah dijual oleh ‘teman’ Anda”.
Kantor berita Iran “Tasnim” yang dikendalikan oleh Pengawal Revolusi (Iran Revolutionary Guard – Pasdaran), menyebut kesepakatan itu sebagai manuver yang “memalukan”.
Sementara di Gaza, kelompok militan Hamas menyebut kesepakatan UEA-Israel “menusuk dari belakang Rakyat kami (Palestina).”
Post-truth:
Penasihat senior Presiden AS, Jared Kushner mengatakan, tidak berpikir Israel akan bergerak maju dengan aneksasi apa pun sebelum membahasnya terlebih dahulu dengan AS. Kushner mengatakan, dia berharap segera melihat interaksi “sangat cepat” antara Israel dan UEA.
Pembentukan hubungan diplomatik penuh (full diplomatic relations) dan hubungan perdagangan antara Israel dan UEA adalah “langkah diplomatik maju” yang signifikan. Namun tak pelak hal itu menimbulkan pertanyaan. Apakah janji penuh (baca: pembatalan aneksasi wilayah sengketa) dari perjanjian ini dapat terwujud? Mungkinkah negara-negara Teluk lainnya mengikuti jalan yang sama?
Penting agar masyarakat internasional melihat apa kendalanya, selain ’first step’ yang rasanya masih jauh dari rencana perdamaian komprehensif untuk menyelesaikan pertanyaan Palestina yang telah lama dipromosikan komunitas global. Namun, untuk sementara pakta damai Israel-UEA cukup bemanfaat untuk jangka pendek bagi semua pihak.
Untuk pertama kalinya Gedung Putih ‘melenceng’ dalam mengumumkan kesepakatan. Mungkin ini hanya masalah diplomatik kecil. Topi strategi Presiden Trump mendulang prospek pemilihan ulangnya tampaknya akan lebih sulit. Sedangkan bagi PM Netanyahu yang dilanda skandal korupsi, hal itu membuat dia lolos dari kesalahannya sendiri melalui “janjinya yang sangat dibanggakan” untuk mencaplok bagian-bagian penting dari Tepi Barat yang diduduki. Namun terbukti janji termaksud tidak dapat disampaikan. Ini adalah akibat dari sikap ‘ambivalen’ AS dan desakan ‘oposisi internasional’ yang signifikan. Mungkin, Netanyahu melihat “inisiatif perdamaian” dengan UEA sebagai ‘sesuatu’ guna meningkatkan peluangnya jika Pemilihan Umum Israel dipercepat. Sebaliknya bagi UEA, lebih sulit untuk mengatakan dengan tepat apa manfaat langsungnya. Meskipun tampaknya hubungan Abu Dhabi dengan Washington akan diperkuat dan kesepakatan dengan Israel dapat menghasilkan manfaat ekonomi, keamanan, dan ilmiah yang signifikan bagi UEA.
In sum, secara keseluruhan, kesepakatan Israel-UEA cukup berpotensi menawarkan “lebih banyak dan lebih sedikit” daripada yang semula mungkin muncul. Namun sejauh menyangkut issue Palestina, Dunia sulit untuk melihat berita ini dapat menciptakan apa pun selain frustrasi; bahwa mereka (global community) sekali lagi disingkirkan dari proses perdamaian Arab-Israel yang seimbang dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang berseteru; termasuk masyarakat internasional.
Sementara Itu, baik Pemerintah Indonesia maupun MFA Pejambon sejauh Ini belum menyatakan reaksinya atau posisi resmi terhadap perkembangan yang terjadi di kawasan Tumur Tengah termaksud. (Penulis mantan praktisi diplomasi)