TAHUN ini tidak ada pesta saat kita merayakan ulang tahun ke 75 sebagai negara bangsa merdeka. Tak ada pekik keras saat kita bilang: merdeka! Karena ada krisis.
Tapi krisis berlarut ini tidak boleh merebut kegembiraan kita. Itu mata air yang tak boleh kering oleh kemarau krisis yang panjang. Kegembiraan itu harus jadi sumber energi pergulatan yang memberdayakan kita dan membuat kita mampu mengubah krisis ini jadi “penghentian panjang” untuk menemukan kembali peta jalan baru yang akan kita lalui, cerita masa depan yang akan kita riwayatkan sejak hari ini.
Pasti banyak patahan dan persimpangan yang akan kita lalui sepanjang sejarah kita. Dan pada setiap momentum itu kita memerlukan lebih banyak energi untuk melompat dan terus melompat. Sebab di situ jalan sejarah tidak datar. Sebab di situ terlalu banyak kejutan.
Kegembiraan itu datang dari mimpi besar yang jauh melampaui kemampuan kita saat ini. Kegembiraan itu datang dari keyakinan dan optimisme yang kuat bahwa ada banyak potensi dan kemampuan dalam diri kita sebagai bangsa yang hanya akan kita temukan saat kita mengalami benturan keras dalam perjalanan.
Kita perlu waktu yang sangat lama untuk sampai pada imajinasi yang terang benderang bahwa menjadi Indonesia adalah keniscayaan sejarah. Sebab hanya itu jalan kita untuk melampaui tantangan eksistensial kita sepanjang lebih dari tiga abad: penjajahan!
Hari ini kita mengenang kembali momentum “Menjadi Indonesia” itu. Dulu dengan pekik merdeka yang keras. Tapi hari ini kita memekikkan kata merdeka untuk memulai sebuah perjalanan bersama dalam sebuah peta jalan baru: menjadi 5 besar dunia. Itulah sumber kegembiraan kita dalam perayaan tanpa pesta ini.
Di usia 75 tahun ini, dalam teori Ibnu Khaldun, kita seharusnya memasuki akhir dari generasi kedua dalam siklus 120 tahun umur negara yang dibagi ke dalam tiga generasi dengan masing-masing 40 tahun untuk setiap generasi. Tapi ada peluang untuk memperpanjang umur setiap bangsa dalam sejarah sepanjang mereka melakukan “peremajaan sistematis” dan melawan secara ulet semua “penyakit degenerasi.”
Saya jadi teringat pada Chairil Anwar. Penyair ini tak pernah berhenti menginspirasi kita. Dalam puisi “Karawang-Bekasi” ia berpesan: “Kami sekarang mayat/Berikan kami arti/Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian.” ***