Refleksi 100 Tahun Jenderal Bambang Utoyo (20 Agustus 1920 –12 Agustus 2020)

oleh
oleh
Jenderal Bambang Utoyo

Besok 20 Agustus, 100 tahun lalukelahiran seorang tokoh pejuang Sumatera Selatan (Sumsel). Walau lahir di Tuban, namun “wong kito” sudah menganggap Bambang Utoyo se­ba­gai salah satu tokoh masyarakat Palembang.

Karena hampir seluruh jiwa raganya diha­bis­kan untuk membela Sumsel dari berbagai rongrongan penjajah dan permasalahan sosial yang ter­jadi.
Bahkan dalam palagam “perang lima hari lima malam Palembang”, tangan kanannya harus diamputasi karena ledakan granat tangan.

Ka­lau saja kita mengetahui cerita tentang tragedi ledakan granat yang menyebabkan bun­tung­nya tangan kanan Bambang Utoyo, tentu kita akan menjadi haru sekaligus iba.
Pelaksanaan am­putasi tangan kanannya oleh dr. Ibnu Sutowo dilakukan dengan menggunakan peralatan me­dis yang serba darurat sehingga mengakibatkan Bambang Utoyo musti menahan sakit se­de­mikian rupa.

Bahkan menurut ajudan Bambang Utoyo, Peltu Tobing (Saat diwawancarai di kediamannya Ciputat, pangkatnya Letkol Purn), guna mengurangi rasa sakit saat tangan ka­nannya di potong, maka digunakanlah air cuka.
Karena tangan kanannya sudah buntung, mulai sa­at itu pak Bambang Utoyo mulai belajar menulis dengan tangan kiri.

Sejak cacatnya tangan kanan Bambang Utoyo, maka pemimpin palagan “Lima Hari Lima Ma­lam Palembang” ini mengirimkan surat cinta ke pacarnya “Siti Nuraini Asa’ari” ini meng­gu­nakan nama samarannya dengan sebutan “Asta Murcha”, yang berarti tangan yang hilang.

Hal ini tentu memberikan isyarat kepada kita semua sebagai anak bangsa bahwa Bambang U­to­yo tidak pernah sama sekali minder sebagai orang yang buntung.
Karena tangannya bun­tung bukan karena kriminal, melainkan akibat dari sebuah perjuangan.

Saat mau menaiki ta­ng­ga rumah walikota Palembang, Bambang Utoyo sedikit agak ragu dengan kondisi ta­ng­annya yang buntung.

Namun calon istri yang merupakan puteri Bupati Musi BanyuasinAsa’ari membaca psy­cho­lo­gi sang pacar. “Tidak perlu ragu melangkah, silahkan naik. Semua seperti dahulu”, ujar Siti Nur­ani Asa’ari (Disjarahad, 2010; 139-141).

Menurut buku Disjarahad, “Jiwaragaku untuk Negeri Tercinta”, 2010 hal.129. Siti Nurani Asa”ari merupakan anak pertama dari 6 bersaudara, pasangan Bapak Asa”ari dengan Ny Ma­ha­ni, adalah mantan Bupati Musi Banyuasin, dan Jaksa Tinggi Sumatera Selatan pada zaman Be­landa.

Bahkan disaat memberikan atau membalas penghormatan, Bambang Utoyo kadangkala meng­gunakan tangan kirinya atau menunduk sedikit.

Kondisi ini ternyata oleh orang yang ti­dak menyukainya dijadikan bahan olok-olokan.
Sedangkan Sejarawan Sumsel Syafruddin Yu­­suf mengakui Bambang Utoyo sempat diprotes ka­langan TNI saat dilantik sebagai Ka­sad,salah satunya adalah karena tangannya buntung tersebut.

Tidak banyak yang tahu bahwa Angkatan Darat pernah memiliki seorang Kepala Staf A­ng­kat­an Darat yang tidak pernah merasakan dinas di Mabesad.

Bahkan di saat pelantikannya se­bagai Kepala Staf Angkatan Darat ke-4 menggantikan Jenderal Bambang Sugeng, fasilitas te­rendahpun seperti musik militer tidak pernah dihadirkan gunamemeriahkan acara kebe­sar­an tersebut.

Tidak hanya itu, di saat pelantikannya sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Darat o­leh Presiden Sukarno, di bawah kendali Wakasad, Kol. Zulkifli Lubis berusaha mempe­nga­ruhi para Panglima kotama (saat sekarang sama dengan Kodam) untuk tidak menghadiri pe­lan­tikan Bambang Utoyo sebagai Kasad.

Pada tanggal 27 Juni 1955 Saat dilangsungkannya upacara pelantikan Jenderal Mayor Bam­ba­ng Utoyo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru.

Se­­dia­nya upacara dilaksanakan di depan Istana Negara, tetapi karena tidak dihadiri oleh peserta upacara dari lingkungan A­ng­­katan Darat, maka upacara dialihkan kedalam ruangan Istana Negara.

Upacara tersebut ha­nya diiringi oleh barisan musik pemadam kebakaran kota Jakarta dan tidak disertai panji A­ngkatan Darat Kartika Eka Paksi.

Pada saat yang sama Kolonel Zulkifli Lubis memberi ta­hu kabinet bahwa ia menolak menyerahkan wewenang kepada KSAD yang baru.

Sebagai ja­wab­annya, Iwa Kusuma Sumantri memecat Zulkifli Lubis, karena tidak mau mem­per­si­ap­kan upacara pelantikan Bambang Utoyo sebagai Kasad.

Karena tidak mendapat dukungan para staf dibawahnya, Bambang Utoyo hanya menjabatKe­­­pala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) sekitar 4 bulan 1 hari, yaitudari tanggal 27 Juni 1955 – 28 Oktober 1955.
Hal ini disebabkan karena pada tanggal 27 Juni 1955 terjadi suatu ak­si boikot dari kalangan periwira AD terhadap pelantikan Bambang Utoyo sebagai Kasad.

Pa­ra perwira AD menolak menghadiri acara pelantikan itu karena menganggap pengangkatan Bam­bang Utoyo sebagai KSAD tidak sesuai dengan isi Piagam Yogya hasil rapat collegial (Raco).

Upacara pelantikan itu bahkan hanya diiringi oleh barisan musik Pemadam Ke­ba­kar­an Kota Jakarta.

Awalnya Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan nama Ko­lonel Zulkifli Lubis sebagai pengganti Mayor Jenderal Bambang Sugeng .

Namun karena berbagai dinamika politik yang berkembang demikian sangat tinggi saat itu, Iwa Kusuma Sumantri menarik dukunganya terhadap pencalonan Zulkifli Lubis sebagai KSAD.

Pa­ra perwira AD menolak menghadiri acara pelantikan itu karena menganggap pengangkatan Bam­bang Utoyo sebagai KSAD tidak sesuai dengan isi Piagam Yogya hasil rapat collegial (Raco).

Upacara pelantikan itu bahkan hanya diiringi oleh barisan musik Pemadam Ke­ba­kar­an Kota Jakarta.

Awalnya Menteri Pertahanan Iwa Kusuma Sumantri mengusulkan nama Ko­lonel Zulkifli Lubis sebagai pengganti Mayor Jenderal Bambang Sugeng .

Namun karena berbagai dinamika politik yang berkembang demikian sangat tinggi saat itu, Iwa Kusuma Sumantri menarik dukunganya terhadap pencalonan Zulkifli Lubis sebagai KSAD.

Hal ini diakibatkan tindakan Zulkifli Lubis yang mengangkat perwira-perwira PSI di li­ng­kungan AD tanpa sepengetahuan Iwa Kusuma Sumantri.

Bagaimanapun juga pencalonan Lu­­bis tidak dapat dibatalkan begitu saja oleh Iwa Kusuma Sumantri karena telah disetujui oleh Presiden.

Dwi Tunggal Soekarno Hatta tidak mencapai kata sepakat dalam pencalonan KSAD yang ba­ru, oleh karena itu mereka meminta kepada pemerintah untuk mengajukan calon tambahan.

Calon yang keempat adalah Panglima Divisi Diponegoro Kolonel Bachrun.
Dia sebenarnya merupakan pendukung Peristiwa 17 Oktober 1952, tetapi oleh pemerintah dianggap relatif le­bih moderat dan karena itu bisa diterima.

Namun Kol. Bachrum ternyata juga tidak cukup se­ni­or di kalangan Angkatan Darat.
Akhirnya dwi tunggal menyerahkan sepenuhnya masalah ini kepada kabinet. Dengan persetujuan Presiden Soekarno, kabinet menjatuhkan pilihannya ke­pada Kolonel Sudirman sebagai KSAD yang baru, namunSudirman juga menolaknya.

Kelahiran Tuban
Suami Siti Nuaini Assa’ari ini, dilahirkan di Tuban Jawa Timur pada tanggal 20 Agustus 1920.

Merupakan anak kedua dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru dan turut ber­ju­ang dalam perlawanan 1926.
Orang tuanya meninggal dalam pembuangan.

Bambang Utoyo me­mulai karirnya sebagai perwira Giyugun di Palembang.

Pada masa Revolusi 1945, Bam­bang Utoyo merekrut tenaga tenaga muda guna dilatih kemiliteran yang kemudian menjadi ci­kal bakal TKR di Palembang.

Pengalaman tempurnya yang menonjol terlihat saat me­mim­pin pertempuran selama lima hari lima malam melawan Sekutu pada bulan Desember 1946 di Palembang.

Pada suatu percobaan granat buatan Tanjung Enim, Bambang Utoyo meng­alamikecelakaan ketika granat yang akan dilemparkanya meledak dalam genggamannya sa­at dibenturkan ke batu.
Kecelakaan itu menyebabkan tangan kanannya harus diamputasi sertaba­dannya penuh dengan pecahan granat dan bercak darah.

Sebetulnya saat menjabat Panglima Territorium II/Sriwijaya (sekarang Kodam II/Swj), Ko­lonel .Bambang Utoyo sudah mengajukan berhenti dari tentara kepada pemerintah sekitar awal September 1952.
Saat itu pemerintah menyetujuinya dengan hak pensiun.

Namun ka­re­na pasca tragedi 17 Oktober 1952 terjadi konflik di internal staf Territorium Sriwijaya, Bam­bang Utoyo kembali diangkat sebagai Panglima TT Sriwijaya menggantikan Kolonel Ko­sasih yang dicopot anak buahnya sendiri sebagai Panglima.

Kehadiran Bambang Utoyo diharapkan mampu menciptakan suasana tenang diinternal Territorium Sriwijaya.

Guna menciptakan kondisi yang kondusif internal Angkatan Darat, maka diadakan rapat un­sur pimpinan TNI AD di Markas Besar Angkatan Darat (MABAD) membahas peristiwa 27 Juni 1955 mulai29 Juni – 2 Juli 1955.

Melaluirapat itu para perwira menuntut kepada pe­me­rintah agar memberi batasan yang jelas antara masalah teknis dan masalah politis.

Selain itu pemerintah harus menetapkan alokasi dana yang cukup untuk melaksanakan tugas per­ta­hanan negara.
Mereka berpendapat bahwa krisis yang dialami oleh AD saat ini disebabkan o­leh sikap pemerintah yang tidak mau menghiraukan Piagam Yogya.

Setelah melakukan rapat selama 4 hari, didapat beberapa keputusan dalam bentuk tuntutan Angkatan Darat,diantaranya: Bambang Utoyo mengundurkan diri sebagai Kasad secara su­ka­rela, dan diberhentikan oleh pemerintah dengan hormat; pemerintah mengangkat pimpinan AD yang baru; mencabut skorsing WAKSAD, Kol. Zulkifli Lubis.

Untuk merealisasikan tun­tu­t­an ini, maka dibentuklah tim negosiator dengan pemerintah, dan delegasi yang dipimpin Kol. Gatot Subroto untuk menemui Bambang Utoyo.

Untuk mendinginkan suasana ketegangan di internal AD, maka pemerintah mengabulkan per­mintaan tim negosiator untuk mencabut skorsing terhadap Kol. Zulkifli Lubis sebagai KA­SAD. Sedangkan Bambang Utoyo berkenan mengundurkan diri sebagai KSAD dengan a­lasan dalam rangka menjaga keutuhan Angkatan Darat.

Pimpinan Palagan Palembang

Salah satu di antara 8 Palagan, adalah palagan Palembang yang terkenal dengan “Perang Lima Hari Lima Malam”.

Sejarah mencatat, pemimpinan Palagan Palembang adalah Kolonel. Bam­bang Utoyo.
Sampai 100 tahun kelahirannya, Bambang Utoyo belum pernah diangkat pe­merintah sebagai pahlawan.

Ini tentu merupakan tantangan tersendiri buat pemda Sumsel, sejarawan lokal dan Kodam II/Swj untuk membuat kajian yang lebih tajam, kritis dan ob­jek­tif tentang peranan Bambang Utoyo dalam perjuangan menegakan kedaulatan NKRI di Sumsel. ***

Penulis alumni Sejarah Unand, dan tim penulis biografi Kasadke-4 Bambang Utoyo. Saat sekarang menjabat sebagai Sejarawan Lisbio Dinas Sejarah TNI AD.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *