JAKARTA,REPORTER.ID – Guru besar Ilmu Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra menjelaskan jika tidak ada jejak khilafah seperti yang dinarasikan oleh kelompok pendukung Khilafah Islamiyah ala Taqiyyuddin An-Nabhani, yakni Hizbut Tahrir.
“Ada film Jejak Khilafah di Indonesia. Apa betul ada? Saya bilang, ya nggak ada,” tegas Azyumardi dalam webinar bertemakan “Relasi Agama dan Negara : Fiqih Siyasah dan Siasat Politik,” pada Jumat (21/8/2020).
Menurut Azyumardi, film Jejak Khilafah di Nusantara yang digarap oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tersebut adalah upaya pembuatan sejarah yang dipaksakan.
“Kalau ilmu sejarah itu kita tidak boleh membikin-bikin fakta. Fakta yang gak ada dibikin sendiri, misalnya ada khilafah bagian dari Indonesia, bagian dari kerajaan Demak, bagian dari kerajaan Mataram, kerajaan Aceh itu bagian dari khilafah utsmani atau khilafah Abasiyah. Nggak betul itu,” ujarnya.
Rektor UIN Syarif Hidayatullah periode 1998-2006 itu menilai jejak Khilafah di Nusantara karya HTI adalah upaya memanipulasi sejarah yang dibuat seromantis mungkin untuk mengelabuhi masyarakat muslim yang tidak paham sejarah.
“Mana ada jejak khilafah dengan Indonesia. Abasiyah itu bukan khilafah itu dinasti. Umayah juga dinasti, Otoman juga dinasti. Ini terjadi manipulasi fakta dan diromantikkan saja,” jelasnya.
Selain itu, cendekiawan muslim Indonesia itu menegaskan jika kelompok pengasong khilafah itu akan terus mempropagandakan bahwa Khilafah adalah solusi dari segala solusi persoalan dunia. Bahkan untuk urusan Covid-19 saja, ia menyebut bahwa kelompok pengusung Khilafah akan menyatakan jika solusi terbaik adalah ketika sistem pemerintahan di Indonesia diubah menjadi Khilafah ala mereka.
“Seolah-olah yang bisa menyelesaikan adalah Khilafah. Semua selesai dengan syariat khilafah, seolah Covid-19 bisa selesai kalau Negara Indonesia diubah jadi Khilafah. Saya bilang ini menyesatkan,” kata Azyumardi kesal.
Untuk membendung narasi propaganda dengan mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi negara Islam berbasis Khilafah Islamiyah ala Taqiyyuddin An-Nabhani yang dipromosikan oleh Hizbut Tahrir, adalah dengan menegaskan regulasi yang ada. Apalagi Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Ormas yang bisa membentengi Indonesia dari gerakan yang merongrong Pancasila itu.
“Karena itu, kalau ada yang memprovokasi menolak NKRI dan hukum-hukum di Indonesia, maka harus ditindak tegas orang-orang kayak begitu. Kan UU Ormas sudah ada. Bagaimana membangun PP untuk bisa ditindaklanjuti,” pungkasnya.
Hal yang sama disampaikan Sejarawan Inggris Peter Carey. Penjelasan Peter Carey ini disampaikan oleh asistennya, Christopher Reinhart dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (21/8/2020).
Carey ingin meluruskan klaim adanya hubungan antara Kekhalifahan Utsmaniyah dan Kesultanan-kesultanan Islam di Jawa di dalam Film “Jejak Khilafah di Nusantara” tersebut.
Pada tanggal 16 Agustus 2020, Carey mengirimkan surel kepada ahli sejarah hubungan Utsmaniyah-Asia Tenggara, Dr Ismail Hakki Kadi, yang dibalas pada tanggal 18 Agustus 2020 perihal klaim-klaim yang tersebut di atas.
Dari surel itu, diketahui bahwa tidak ada bukti dokumen negara Islam pertama di Jawa.
“Tidak ada bukti pada dokumen-dokumen di Arsip Turki Utsmani yang menunjukkan bahwa ‘negara’ Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (1475-1558), utamanya raja pertamanya, Raden Patah (bertakhta, 1475-1518), memiliki kontak dengan Turki Utsmani,” kata Peter Carey.
Menurut Carey, bahwa Kesultanan yang ada di Pulau Jawa tidak dianggap sebagai vassal atau naungan Turki Utsmani, termasuk juga bukan wakil sultan-sultan Utsmani di Jawa. Selain itu, tidak ada bukti yang menunjukkan hubungan Turki Utsmani dengan Kesultanan Yogyakarta.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Turki Utsmani dan Kesultanan Yogyakarta (didirikan 1749) dalam hal hierarki sebagaimana dimaksud,” jelas Carey.