Peradilan Etik

oleh
oleh
Amir Santoso, Gurubesar FISIP UI.

JAKARTA, REPORTER.ID– Gagasan tentang peradilan etika ini mencuat ketika Ketua MPR, Bambang Soesetyo mengemukakan perlunya Indonesia memiliki peradilan etika. Itu dikatakannya ketika Bamsoet usai memimpin rapat persiapan Hari Ulang Tahun MPR ke 75 yang akan jatuh tgl 29 Agustus nanti.

Awalnya Bamsoet mengemukakan agar MPR punya Mahkamah Kehormatan sendiri seperti DPR. Tujuannya adalah mengadili anggota MPR yang dituduh telah melakukan pelanggaran etika. Tapi di bagian akhir penjelasannya, Bamsoet menyatakan ingin agar Indonesia memiliki Peradilan Etik bagi semua institusi negara.

Seperti diketahui, beberapa lembaga negara kita sudah memiliki mahkamah etik. Misalnya KPU sudah memiliki DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan DPR memiliki MKD (Dewan Kehormatan Dewan). Mahkamah itu sudah beberapa kali menjatuhkan sanksi internal bagi anggota-anggotanya yang dianggap melanggar etika. Tampaknya kejaksaan, MA dan kepolisian serta TNI juga sudah memiliki semacam dewan kehormatan masing-masing.

Tapi begitulah. Publik tidak pernah tahu proses pelaksanaan peradilan etik internal tsb dan tidak pernah tahu apakah pejabat yang diadili benar-benar dijatuhi hukuman dan telah melaksanakan hukumannya. Sebab proses pelaksanaan “peradilan” di berbagai mahkamah kehormatan tersebut berjalan tertutup. Akibatnya, publik bersikap skeptis terhadap mahkamah kehormatan internal tersebut.

Sebenarnya gagasan pertama tentang peradilan etik itu datang dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Assiddiqie. Mungkin berangkat dari adanya sikap skeptis publik terhadap berbagai mahkamah kehormatan tadi, Prof Jimly mencantumkan perlunya proses peradilan etik itu terbuka bagi publik. Tujuannya adalah agar publik bisa mengetahui proses peradilan dan sanksinya. Dengan demikian diharapkan agar tidak ada kesan main-main dalam menerapkan proses peradilan etik tersebut.

Gagasan untuk membuka peradilan etik bagi publik tersebut sangat bagus dan mulia. Untuk keperluan itu mungkin nanti Mahkamah Agung harus membuat lembaga tersendiri yang disebut Peradilan Etik dan mengangkat para Hakim khusus etik seperti halnya peradilan dan hakim tipikor.

Sepanjang peradilan etik itu dikhususkan bagi para pejabat negara dan pemerintah, tentu kita tidak memiliki keberatan apapun, malahan mendukung gagasan tersebut. Tapi jika peradilan etik nantinya menyangkut kehidupan publik, pasti kita menentangnya. Sebab dalam kehidupan warga sebagai mahluk sosial sudah banyak sekali lembaga semacam peradilan etik. Hukum adat misalnya adalah salah satunya. Juga ada berbagai hukum etik berdasarkan agama yang diatur oleh semua agama.

Jadi sekali lagi apabila peradilan etik itu terbatas hanya untuk kalangan aparatur negara dan pemerintah, kita patut mendukungnya. Yang penting dijaga adalah peradilan etik itu tidak mengurusi kehidupan publik. (Amir Santoso)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *