Mengapa Kita Kalah Melawan Hoax

oleh
oleh
Ilustrasi.

Oleh: Endy Kurniawan*

Endy Kurniawan.

SALAH satu residu dari meluasnya penggunaan media sosial adalah ruahnya berbagai informasi yang kemudian melahirkan generasi malas berpikir. Karena saringan tak mampu lagi menahan arus informasi, maka akal sehat –yang awalnya bahkan hanya mencerna informasi pada permukaannya saja– kemudian benar-benar tumpul.

Bayangkan yang harus pengguna Facebook lakukan jika harus mengikuti anjuran Divisi Humas Polri: “Saring Sebelum Sharing”, ketika membaca 100 unggahan di tautan laman Facebook miliknya dalam sehari. Apakah dia harus melakukan cek silang ala redaktur dengan berbagai laman media lainnya, atau dia harus selalu menanyakan : “Apakah ini benar, siapa sumbernya, dari mana datanya, apakah valid?” dan lainnya kepada pengunggah? Seratus kali per hari untuk setiap unggahan yang dia baca? Yang bener aja.

Tapi, sebetulnya, kata James Ball dalam Post Truth (Biteback, 2017), salah satu ciri hoax adalah ‘grabby, easy to understand, easy to share’. Gampang didapat. Gampang dipahami dan gampang dibagikan. Dan kemudian salah. Mengapa? Karena hoax dikreasi memang untuk meng-entertain yang pendek berfikirnya. Siapa mereka? Publik yang malas baca, yang diperparah lagi, pemalas baca yang menikmati penumpulan akal kronis di media sosial dan platform berbagi seperti chat messenger.

Jadi, sensor pertama yang perlu dipunya untuk menyortir hoaks adalah kemampuan logika dan bahasa. Mengapa di Indonesia hoax subur? Karena skor Indonesia di kompetensi logical thinking (yang didapat dari kemampuan matematik) dan semantik-linguistik (yang diasah dari kegemaran baca) ada di posisi ke-62 dari 70 negara yang disurvei (Ari Kuncoro, Guru Besar FEB UI, Kompas, 12 Januari 2018).

Ketika di negara lain informasi melimpah –terutama menjalar melalui media elektronik– bisa diolah menjadi penerawangan ide, olah data, membaca gejala, membuat program dan proyeksi skenario serta pengambilan keputusan, di Indonesia yang terjadi adalah penumpukan kerak dan kotoran. Menyumbat dan muncratlah jadi informasi tak penting yang sebagiannya rekayasa dan kebohongan.

Sebagai informasi, pengguna internet di Indonesia ‘mantengin’ gawai rata-rata 8 jam 51 menit per hari (!). Data Hootsuite Januari 2018 itu mencatat Indonesia di peringkat ke 4 dunia, hanya kalah oleh Thailand, Filipina dan Brazil. Sementara Singapura hanya 7 jam per hari, USA hanya 6:30 dan Jepang 4:12. Negara-negara maju lain dibawah 5 jam. Publik yang berjam-jam di depan gawai ini kemudian dengan mudahnya jadi target. Apa misalnya? Warganet bisa menjadi objek pembodohan politik dan iklan komersial.

Pada 23 Juni 2016, jam 10 malam, masyarakat Inggris masih meyakini bahwa negerinya tak akan keluar dari Uni Eropa. Opsi Remain vs Leave (Brexit) masih ketat dengan posisi 52:48. Polling di semua media utama dan media sosial membagikan hasil serupa. Esoknya menjelang subuh, Poundsterling jatuh dan bursa saham Inggris rontok demi opsi Leave yang unggul. Belakangan, setelah investigasi, perekayasa opini termasuk hackers dari Rusia ada dibalik ini semua.

Informasi tak benar dikirim dari ruangan pengap, warnet dan kafe-kafe di berbagai negara ke hadapan gawai milik publik menjelma jadi kebenaran artifisial, membuat semua pihak meyakininya. Bagi warga Inggris, ini informasi biasa. Tapi bagi pemerintah Cameron ini membuatnya over-confidence, lengah, kemudian kalah. Di Inggris yang kritis dan logis, pembohongan ini tak bisa dihindari. Apalagi di Indonesia yang pengguna telpon pintarnya tunduk pada perintah “Darurat! Sebarkan jika kamu peduli!” dari seorang yang tak dia kenal. ***

* Penulis adalah Wasekjen Inovasi & Hubungan Kelembagaan DPN Partai Gelora Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *