Banyak Versi Cerita Si Pitung, Perlu Ahli Sejarah dan LKB Merumuskan yang Baku

oleh
oleh
Suhu Djadja (nomor 2 dari kiri) peneliti dan penutur sejarah nusantara.

JAKARTA,REPORTER.ID-Banyak versi cerita sejarah Si Pitung jagoan silat Betawi pembela rakyat kecil bermunculan. Ada yang menyebut Si Pitung putra Betawi asli, ada yang berkeyakinan keturunan Sulawesi Selatan dan ada pula yang menggap Si Pitung itu sebuah organisasi penolong rakyat tertindas.

Karena itu dirasakan perlu para ahli sejarah dan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan pihak yang berkompeten lainnya bertemu dan membahasnya. Ini diperlukan untuk menentukan cerita mana yang baku sebagai warisan budaya tak benda.
Hal itu diungkapkan peneliti sejarah H Komarudin, peneliti lapangan sejarah nusantara H Surya Atmadja dan Kepala Seksi Perlindungan Budaya Sudin Kebudayaan Jakarta Utara Aep Tursaman pekan ini.

Secara terpisah Kepala Bidang Perlindungan Budaya Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Norviadi Setio Husodo Jumat (4/9/2020) juga menyetujui gagasan tersebut.
“Saya usulkan itu dibahas secara komprehensif dengan ahli sejarah, ahli budaya Betawi dan tokoh maupun akademisi lainnya yang terkait dengan Si Pitung,” kata Norviadi.

Ia menganjurkan agar hal ini ditanyakan ke Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi Imron Hasbullah.
Namun ketika dihubungi kemarin Imron belum dapat memberikan jawaban.
“Kita ngobrol dulu saja Pak ke kantor kami sambil minum kopi,” ucapnya.
Mengenai cerita Si Pitung versi Ulama, Aep Tursaman menunjuk pada buku tulisan Ustadz Makmoen Al Fatah. Menurut Ustadz ini Si Pitung berasal dari nama padepokan silat yang didirikan oleh KH Naipin dari Tanah Abang bernama Pituan Pitulung (Tujuh Penolong) tahun 1880. Dasar persilatan itu harus khatam Al Qur’an.
Mereka bertekad membela rakyat kecil melawan kesewenang-wenangan pemerintah kolonial Belanda dan antek anteknya.
Dari tujuh penolong itu ada 2 orang yang sering menjadi motor yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma dan Ratu Bagus Muhammad Roji’i.
Kedua orang itu selama ini kita kenal sebagai Si Pitung dan Ji’ih.
Pemandu wisata Damra Atapukan yang bertugas di Rumah Si Pitung di Situs Marunda, Cilincing Jakarta Utara mengaku sudah membaca buku Pituan Pitulung tersebut.
Namun untuk cerita Rumah Si Pitung itu ia mengacu pada tulisan H Ridwan Saidi.
Rumah Si Pitung di Marunda itu dibangun 1880 oleh seorang pengusaha tambak dan saudagar peralatan menangkap ikan yang bernama Haji Syafiudin bergaya arsitektonis Bugis. Namun disebut juga rumah Betawi pesisir.
Di rumah itulah Si Pitung pernah lama bersembunyi dari kejaran Belanda sekitar tahun 1890-an. Dari banyak versi Si Pitung lahir di Rawa Belong, Jakarta Barat.

Si Pitung dari Cakung

Sementara menurut H Komarudin (66) Si Pitung aslinya bernama Solihun lahir di Kayutinggi, Cakung, dari seorang ibu bernama Sopinah. Sedang sahabat Si Pitung bernama Ji’it berasal dari Kampung Kandang.
Nama Si Pitung berasal dari nama bambu petung karena waktu main silat pemuda cilik tersebut kuda kudanya terlihat kokoh bagaikan bambu petung.
Dalam sejarahnya setelah dewasa Jagoan Si Pitung lepas dari penjara Cipinang naik kereta api ke arah Bekasi. “Jadi bukan karena bisa ngilang,” tandas Komarudin.
Namun Si Pitung akhirnya terbunuh oleh tembakan polisi Belanda di hutan karet Bojong Rangkong yang kini bernama Pondok Kopi. “Waktu itu tahun 1893 Si Pitung umur 28 tahun dan belum menikah,” kata Komarudin ketika bercerita di Sanggar Becak (Betawi Cakung) pimpinan Rusli Rawin.
Sedangkan H Surya Atmadja (76) yang akrab dipanggil Suhu Djadja membenarkan Si Pitung lahir di Kayutinggi Cakung dan gugurnya memang di Pondok Kopi tersebut. Lokasinya di sebelah tenggara Stasiun Klender Baru. Namun dia menyangsikan kalau jasadnya sempat dilarikan dengan ambulance ke rumah sakit Belanda yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto.
Versi Suhu Djadja mirip dengan versi Komarudin bahwa Si Pitung lahir dan menikmati masa kecilnya di Kayutinggi, Cakung. Bedanya Suhu Djadja memiliki catatan bahwa Si Pitung keturunan bangsawan dari Makasar, Sulawesi Selatan.
“Leluhur Bang Pitung. berasal dari Makasar, keturunan dari Kesultanan Goa yang sultannya bernama
Sultan Malikus Sahid tahun 1511,” kata Suhu Djadja putra Almarhum Mardjoeki dalang wayang kulit Betawi.
Sultan Malikus Sahid punya dua orang anak laki laki anak laki laki yang pertama bernama Muhammad Bandan.
Atau disebut juga Syeikh Muhammad Bandan.
Anak lelaki yang kedua bernama Muhammad Bakir.
Setelah ayahnya wafat Syeikh Muhammad Bandan akan dinobatkan menjadi Sultan namun menolak karena lebih memilih menjadi ulama. Maka jabatan sultan diberikan kepada adiknya yaitu Muhammad Bakir
atau Daeng Mangepe dan bergelar Sultan Hasanudin.
Pada tahun 1669 M Kesultanan Goa di bawah Sultan Hasanudin digempur Belanda habis habisan.
Sultan Hasanudin wafat dalam pertempuran tersebut.
Setelah kejadian tersebut Syeikh Muhammad Bandan menghimpun sisa sisa pasukan Sultan Hasanudin yang masih selamat.
Pada Tahun 1670 pasukan Syeikh Muhammad Bandan berlayar ke Batavia dan mendirikan perkemahan di pesisir pantai dekat Sunda Kelapa. Kemudian mereka menyerang markas Belanda.
Namun sayang pasukan mereka dapat dipukul mundur Belanda yang menyebabkan pasukan Syeikh Muhammad Bandan berpindah ke Muara Sunda atau Marunda.
Tahun 1705 putra Syeikh Muhammad Bandan bernama Nasrudin atau Karaeng menikahi anak seorang saudagar ikan keturunan Tionghoa warga Marunda bernama Naomi. Dari pernikahan pasangan itu lahirlah Naudin.
Tahun 1730 Naudin menikah dengan anak Babah Lan seorang juragan Beras dari Bekasi.
Dari pernikahan ini Naudin dikaruniai 5 orang anak yaitu 1.Imalombase Karaeng Naipin atau Haji Naipin. 2. Naimah. 3.Imalombase Karaeng Napiyudin atau Haji Napiyudin.
Napiyudin ini dalam versi lain bernama Syafiudin yáng membangun rumah panggung di Marunda dan kini menjadi bangunan cagar budaya Rumah Si Pitung.
Anak nomor 4. Imalombase Karaeng Napiun yang nantinya mempunyai anak yang setelah dewasa terkenal dengan nama Si Pitung. Anak ke 5 Naudin bernama Nafsiah yang bersuamikan Tan Zhie Seng. dan punya anak bernama Tan Zhie Ih atau Ji’ih yang menjadi sahabat dan teman seperjuangan Si Pitung.
“Jadi keduanya itu bersaudara sepupu,” kata Suhu Djadja.
Menilik berbagai versi cerita Si Pitung yang juga dikenal sebagai Robin Hood Betawi abad ke 19 tersebut seorang pengamat yang enggan disebut namanya berkesimpulan semuanya itu merupakan produk intelijen.
Apa yang dimaksud dengan produk intelijen, tentu perlu penjabaran dalam pertemuan berbagai pihak yang berkompeten dengan cerita yang telah melegenda tersebut. (Pri).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *