JAKARTA, REPORTER.ID – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi. Pasal ini menetapkan ambang batas presiden mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.
Refli Harun melalui video di akun youtubenya, Minggu (6/9/2020) memastikan akan membawa argumentasi baru dalam gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential thresold (PT) 20 persen di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Sudah banyak permohonan pasal ini dibatalkan sejak tahun 2009 tapi Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa ini legal policy kehendak pembentuk undang-undang dan partai-partai politik oligarki terutama partai-partai yang besar tidak mau menghilangkan presidential thresold 0%,” ujarnya.
Terkait argumen nonkonstitusional, pakar hukum tata negara itu menyinggung soal keputusan MK yang sebelumnya pernah menolak uji materi presidential treshold.
“Saya sebenarnya tidak bisa menerima argumentasi yang strong dari MK. MK mengatakan memperkuat sistem presidensil, itu kan hipotesis. MK mengatakan bahwa itu legal policy. Nah, kalau kita pakai argumentasi nonkonstitusionalnya, damage-nya luar biasa yang namanya presidential treshold ini, kan. Itu argumenasi nonkonstitusional,” kata Refly.
Sebagai kuasa hukum Ekonom Senior Rizal Ramli sebagai kuasa hukum, Rizal Ramli mengajukan uji materi PT 20 persen ke MK, Jumat (4/9). Gugatan tersebut ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020.
Mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi dengan membawa rangkuman yang terdiri dalam dua aspek. Keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis.
Pertama, yang terkait argumentasi konstitusional, Refly mengatakan, bahwa PT telah mengamputasi hak sejumlah partai untuk mengajukan capres.
Refly menjelaskan setelah Pemilu 2019 lalu, ada empat partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya untuk bisa mengusung atau mengajukan calon presidennya, yaitu PSI, Garuda, Berkarya dan Perindo.
Partai ini, kata Refly, tidak bisa mengusung calon karena tidak memiliki suara atau kursi pada Pemilu 2014. Kondisi serupa bisa terjadi di Pemilu 2024 nanti pada partai-partai baru. Sebagai buktinya, ia mengatakan, ada empat partai politik pada Pemilu 2019, tidak bisa mengajukan sendiri capresnya.
“Secara post factum itu ada empat partai politik yang kehilangan hak konstitusionalnya, untuk bisa mengusung atau mengajukan calon presidennya. Yaitu PSI, Garuda, kemudian Berkarya dan kemudian Perindo. Partai ini tidak bisa mengusung calon karena dia tidak punya suara atau kursi pada pemilu sebelumnya, 2014,” jelas Refly.
Bahkan, hal yang sama akan terjadi pada Pilpres 2024 mendatang. Di mana, terdapat partai-partai baru yang kemungkinan tidak bisa mencalonkan sendiri capres dari partainya.
“Ada partai baru, contoh misalnya Gelora. Dia enggak akan bisa mencalonkan Presiden. Tapi kan kalau pendukung bisa. Wah kalau pendukung jangankan peserta Pemilu, kita saja bisa mendukung, karena hak konstitusional adalah hak untuk mengusung calon,” ucapnya.
Bagi dia, yang terpenting saat ini adalah terhapusnya syarat ambang batas 20 persen suara nasional. Bagi dia, syarat pencalonan itu merupakan praktik demokrasi kriminal.
“Sehingga proses seleksi calon kepemimpinan hanya ditentukan oleh kelompok kekuatan modal dan politik. Demokrasi kriminal bekerja buat cukong, bekerja buat kelompok-kelompok tertentu saja,” pungkas Refly Harun. ***