Oleh Zainal Bintang
Jum’at, 4 September 2020, beredar luas berita di berbagai media : “Parpol Pendukung Berbelok, Pasha Ungu Terancam Gagal Maju Jadi Cawagub Sulteng”. Hari itu juga melalui WhatsApp terkirim foto Pasha Ungu bersama Adhyaksa Dault, mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) 2004 – 2009. “Sudah pasti Bang Pasha gagal maju,” kata Adhyaksa dalam percakapan telepon dengan saya.
Semalam Pasha Ungu bertandang ke rumah mantan Ketua Kwartir Nasional Pramuka itu. Mengiringi kegagalan Pasha, bermunculan meme sindiran di sosial media: “Pasha Korban Begal Politik!” Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), begal artinya penyamun atau merampas ditengah jalan. Tidak mengherankan jika banyak pengamat maupun aktivis demokratis menunjuk Pasal 222 UU pemilu No. 7 Tahun 2017 sebagai biang kerok pembegalan nasional.
Pasal itu mensyaratkan parpol pengusung capres/cawapres harus memenuhi perolehan kursi minimal 20 persen di parlemen yang disebut PR (Presidential Threshold) hasil Pemilu 2019. Sebuah persekongkolan jahat yang memungkin hanya dua pasangan calon presiden yang dapat maju bertarung. Dengan kata lain peluang figur yang kompeten dan bersih telah dibegal secara sistemik oleh elite politik.
Ketatnya persaingan mengumpulkan suara sebanyak itu memaksa terbukanya jalan transaksional antar partai politik yang menguatkan praktik jual – beli suara. Harold Dwight Lasswell ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan seorang pencetus teori komunikasi (lahir 13 Februari 1902) menyebutkan, proses politik sebagai konflik atas definisi dan distribusi nilai-nilai sosial dan sudah merumuskan kalimat terkenal “Politik adalah studi tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Politics: Who Gets What, When, How).
Buku dengan nama yang sama, diterbitkan pada tahun 1936, meringkas gagasan utama dari “Politik Dunia dan Ketidakamanan Pribadi”. Lasswell mendefinisikan, “Politik ini telah merangkum perilaku politik di seluruh dunia, dengan politisi didorong oleh posisi politik, distribusi sumber daya, dan bersaing dengan pesaing mereka.
Hal ini telah menyebabkan banyak sikap apatis politik di seluruh dunia, bersama dengan korporatisasi negara, dengan kepentingan terselubung yang menembus sistem politik dan memiliki suara besar atas perumusan kebijakan dan undang-undang”.
Menarik membaca buku “Democracy for Sale” (Demokrasi Untuk Dijual), ditulis oleh Ward Berenschot, Peneliti KITLV (Koninklijk Instituut Vor Taal – Land en Volkenkunde) bersama Edward Aspinall, Profesor pada Departemen Perubahan Politik dan Sosial, Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University.
Secara garis besar, buku ini menggambarkan politik dan demokrasi di Indonesia dalam ruang informal. Pemfokusan pada ruang informal sengaja diambil karena jarangnya studi yang menelaah kondisi politik Indonesia pada ruang informal.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Obor Yogyakarta (2019) sang peneliti menulis, “Seringkali orang kalau bicara politik Indonesia, mereka bicara soal politik formal. Yang dibicarakan adalah pidato calon atau strategi mereka di media massa.
Maka, kita bicara apa yang ada di belakang politik formal, seperti jaringan calon, masalah uang, dan politik transaksional,” jelas Ward pada acara bedah buku di Gedung Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Gatot Subroto, Jakarta Selatan,10 April tahun lalu. Secara terang–terangan Ward mengatakan: dirinya menemukan tiga praktik yang khas dalam politik informal Indonesia.
Pertama, politik transaksional yang salah satu kategorinya adalah jual beli suara. Ward menganalisis, jual beli suara yang dilakukan pada pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia tak hanya dilakukan melalui jaringan partai, melainkan juga oleh orang-orang yang merupakan bagian dari jaringan calon. Praktik ini tak ditemukan di India dan Argentina, sebab jual beli suara di kedua negara tersebut hanya dilakukan melalui jaringan partai politik.
Kekhasan kedua, yakni adanya tim sukses. Cerita mengenai tim sukses dan broker politik tak akan ditemukan pada politik India dan Argentina, sebab kampanye calon dilakukan oleh jaringan partai politik.
Kekhasan ketiga, yaitu broker politik. Para kandidat di Indonesia membentuk jaringan broker politik mulai dari tingkat nasional hingga rukun tetangga. Jaringan inilah yang dimanfaatkan oleh kandidat untuk melakukan politik uang sebagai cara menjalin hubungan dan meraup dukungan dari masyarakat.
Broker politik, asing bagi India dan Argentina, kata Ward, “Sebabnya, partai politik di India dan Argentina yang memiliki akses terhadap sumber daya negara telah menjalin hubungan dengan masyarakat setempat. Masyarakat India dan Argentina mendatangi kantor partai politik untuk mengurus berbagai hak atas pelayanan publik.”
“Kalau Anda mengunjungi kantor partai politik di daerah (Indonesia), sepi. Tidak ada banyak orang. Kenapa sepi? Karena di Indonesia, kalau Anda mau mengurus pelayanan publik, seperti mengurus kamar rumah sakit, orang tidak datang ke partai politik, tetapi ke institusi negara seperti Pak RT, Pak Camat. Jadi, semua akses terhadap kekayaan negara, itu lewat aparatur negara. Tapi kalau di India dan Argentina tidak begitu. Di sana, partai politik juga menguasai kekayaaan negara sehingga masyarakat mendekati partai politik,” urai Ward.
Berbicara situasi dan kondisi perpolitikan hari ini di Indonesia, sungguh banyak narasi negatif yang mengotori udara demokrasi. Demokrasi hanya menjadi pajangan dan pemanis konstitusi.
Demokrasi telah dibegal kekuatan hitam kuasa politik. Dalam banyak kajian, sejumlah pakar menyebutkan, sejak era reformasi demokrasi telah diambil alih para pembegal yang sejatinya adalah para kapitalis bersekutu dengan politisi pemburu rente yang menafikan dimensi moralitas.
Menonjolnya praktik begal politik menjelang Pilkada serentak akhir 2020, sejatinya itu hanya bentuk repetitif rusaknya pondasi politik yang dibalut dengan jubah sarana berbasis moralitas.
Demokrasi telah terjebak di dalam lingkaran setan daerah tak bertuan (terra in cognito). Para pembegal formal dan legal itu, bebas menetukan hitam putihnya regulasi sesuai kepentingan perkuatan kekuasaan politik dan perluasan wilayah kerajaan bisnis mereka.
Dalam kenyataannya jalan demokrasi yang meniscayakan kehadiran partai politik sebagai penyalur aspirasi tetap saja jauh panggang dari api. Partai politik bermutasi menjadi hantu kejahatan koruptif yang begitu perkasa.
Terlegitimasi lewat sakralisasi pemilihan umum yang diagung – agungkan sebagai panggung politik tertinggi daulat rakyat. Kekacauan perundang – undangan yang diproduksi eksekutif dan legislator sejak era reformasi ditandai banyaknya langkah Judicial Review (JR) atau uji materi yang dilakukan tokoh masyarakat sipil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Konsistensi hakim MK dipertanyakan
Mereka baru saja menerima “bonus” dari wakil rakyat. DPR mengesahkan UU Mahkamah Konstitusi yang baru pada rapat paripurna, Selasa (01/09/20). Masa jabatan hakim bisa sampai 15 tahun. Ada hakim MK saat ini yang bisa menjabat hingga 2034. Ada perpanjangan masa usia menjadi 70 tahun sebagai hakim MK.
Rizal Ramli ekonom papan atas Indonesia dan aktivis demokratis tak kenal lelah menjadi salah seorang yang kini melakukan JR menggugat pasal 222 UU No.7/2017 itu. Rizal Ramli menyebutnya sebagai “Demokrasi Kriminal”.
Pembegalan politik nampaknya terjadi di semua lembaga publik yang seharusnya melindungi kepentingan publik. Beberapa teman aktivis senior kembali mengirim pesan lewat group WhatsApp : “Bangsa Indonesia saat ini sedang menghadapi gangguan pandemi lain yang bernama: Begal Politik itu!” Saya hanya terdiam. Membisu. Memandangi plafond yang serasa berputar mengejek kebisuan saya. (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)