Analis Cikini Studi Sebut Pembentukan Dewan Moneter, Amputasi Independensi BI

oleh
oleh
Bank Indonesia.

JAKARTA, REPORTER.ID – Wacana pembentukan Dewan Moneter yang digaungkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendapat sorotan banyak pihak. Pembentukan Dewan Moneter mengemuka dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (UU BI).

Namun, menurut Direktur Eksekutif Cikini Studi, Teddy Mihelde Yamin melalui keterangan tertulisnya, Kamis (9/9/2020), pembentukan lembaga baru ini dikhawatirkan akan menggerus independensi BI.

Lebih parahnya lagi, lanjut Teddy, bangsa ini akan kembali ke zaman Orde Baru, dimana independensi BI dicekik dan diamputasi, seperti yang terjadi di periode kezaliman dan rezim fiskal moneter masa lalu.

“BI kembali menjadi subordinat Pemerintahan. Artinnya BI bisa mencetak uang seenaknya untuk tambal defisit APBN. Sementara hasil utangan dipakai untuk belanja seenaknya,” sebut dia.

Dampanya, menurut analis Pasar Modal ini, tak mudah memgembalikan ke kondisi semula, ketika sengaja menjatuhkan diri terperosok ke lubang yang lebih dalam. Apalagi, di tengah kondisi penyebaran Covid-19 yang semakin mengkuatirkan.

“Kita perlu lebih awas dengan pembentukan Dewan Moneter yang beberapa waktu lalu diwacanakan, dan kini sedang digodok Undang-Undang nya di DPR. Bahkan, draft usulan sudah berseliweran di beberapa kalangan,” sebut Teddy Yamin.

Berikut Draf RUU Bank Indonesia (BI) yang telah disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, dimana ada beberapa pasal yang akan diubah dan ditambahkan dalam aturan baru ini dalam pelaksanaan tugas BI.

Dari bahan paparan rapat Baleg DPR RI pada Selasa, 1 September 2020, setidaknya ada 14 pasal yang akan dirombak baik itu disempurnakan atau dihilangkan. Berikut rinciannya, seperti dikutip dari bahan paparan tersebut :

1. Ketentuan pasal 4 ayat 2 diubah menjadi “BI adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.”

Di UU sebelumnya berisi, “BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-undang ini.”

2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga tugas BI tidak hanya menstabilkan inflasi dan nilai tukar rupiah tapi menjadi lebih luas. Pasal 7 ayat 1 diubah menjadi, “Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan.”

Sedangkan pasal 7 ayat 3 diubah menjadi, “Penetapan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dewan Moneter.”

3. Ketentuan Pasal 9 yang berisi “Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugasnya,” dihapus dan diganti menjadi pasal bercabang.

4. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 9A, Pasal 9B, dan Pasal 9C di RUU baru ini.

Pasal 9A berisi 5 ayat yakni: (1) Dewan Moneter membantu Pemerintah dan BI dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Dewan Moneter memimpin, mengkoordinasikan, dan mengarahkan kebijakan moneter sejalan kebijakan umum Pemerintah di bidang perekonomian. (3) Dewan Moneter terdiri dari 5 (lima) anggota, yaitu Menteri Keuangan dan 1 (satu) orang menteri yang membidangi perekonomian; Gubernur BI dan Deputi Gubernur Senior BI; serta Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. (4) Jika dipandang perlu, Pemerintah dapat menambah beberapa orang menteri sebagai anggota penasehat kepada Dewan Moneter. (5) Sekretariat Dewan Moneter diselenggarakan oleh BI.

Pasal 9B berisi 3 ayat, yakni: (1) Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan. (2) Dewan Moneter bersidang sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam sebulan atau sesuai dengan kebutuhan yang mendesak. (3) Dalam pembicaraan yang bersifat teknis, anggota Dewan Moneter berhak menunjuk penasehat ahli yang dapat menghadiri sidang Dewan Moneter.

Kemudian, Pasal 9C berisi, (1) Keputusan Dewan Moneter diambil dengan musyawarah untuk mufakat. (2) Apabila Gubernur tidak dapat memufakati hasil musyawarah Dewan Moneter, Gubernur dapat mengajukan pendapatnya kepada Pemerintah. (3) Tata tertib dan tata cara menjalankan pekerjaan Dewan Moneter ditetapkan oleh Dewan Moneter

5. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a diubah menjadi, “menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja yang ditetapkan.”

6. Ketentuan pasal 11 ayat (4) diubah menjadi, “Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban bersama Bank Indonesia dan Pemerintah.”

Ayat (5) diubah menjadi, “Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai dan kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan diatur dalam undang-undang tersendiri.”

7. Ketentuan Pasal 34 diubah menjadi, (1) Tugas mengawasi Bank yang selama ini dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dialihkan kepada Bank Indonesia. (2) Pengalihan tugas mengawasi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2023. (3) Proses pengalihan kembali fungsi pengawasan bank dari OJK kepada BI dilakukan secara bertahap setelah dipenuhinya syarat-syarat yang meliputi infrastruktur, anggaran, personalia, struktur organisasi, sistem informasi, sistem dokumentasi, dan berbagai peraturan pelaksanaan berupa perangkat hukum serta dilaporkan kepada DPR.

8. Ketentuan pasal 43 ayat (1) huruf a diubah menjadi, “Sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk menetapkan kebijakan umum di bidang moneter yang dihadiri oleh seorang atau lebih menteri di bidang perekonomian serta Menteri Keuangan yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara dan hak suara.”

Dalam beleid yang saat ini berlaku, pemerintah bisa hadir di RDG bulanan Bi dengan hak bicara tapi tanpa hak suara.

9. Ketentuan pasal 55 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) diubah.

Ayat 1 berisi: Dalam hal Pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara (SBN), Pemerintah berkoordinasi dengan BI.

Ayat 2: BI dapat membeli SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di pasar primer, untuk operasi pengendalian moneter dan/atau dalam rangka pemberian fasilitas pembiayaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).

Ayat 5: Dalam kondisi perekonomian tertentu, BI dapat membeli SBN tanpa bunga dengan harga diskon yang disepakati bersama dengan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 56 diubah menjadi berisi 3 ayat dalam draf RUU terbaru ini. (1) BI diperbolehkan memberikan pembiayaan sementara kepada Pemerintah karena adanya kekurangan pada pendapatan Pemerintah. (2) Pembiayaan dilakukan dengan pembelian SBN. (3) Pembiayaan harus dibayar paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir, dan besaran pembiayaan tidak melebihi 1/5 dari perkiraan penerimaan negara yang diajukan ke DPR.

11. Ketentuan Pasal 58A dihapus.

12. Ketentuan Pasal 62 ada dua ayat yang diubah yakni ayat 2 dan 3.

Ayat 2 diubah menjadi, “Dalam hal terjadi risiko atas pelaksanaan tugas dan wewenang BI yang mengakibatkan modal BI menjadi berkurang dari Rp 2 triliun sebagian atau seluruh surplus tahun berjalan BI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk Cadangan Umum guna menutup risiko dimaksud.”

Ayat 3 diubah menjadi, “Dalam hal setelah dilakukan upaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jumlah modal BI masih
kurang dari Rp 2 triliun maka Pemerintah wajib menutup kekurangan tersebut yang dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan DPR.

13. Ketentuan Pasal 75 diubah menjadi, (1) Mengingat perubahan kebijakan moneter bersifat sangat mendasar diperlukan perubahan Dewan Gubernur. (2) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Dewan Gubernur Indonesia diberhentikan dan ditunjuk pelaksana Dewan Gubernur. (3) Selambat-lambatnya satu tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, Presiden mengusulkan Dewan Gubernur untuk masa jabatan selama lima tahun.

14. Ketentuan Pasal II angka 4 diubah menjadi, “Surplus BI dikenakan pajak penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *