JAKARTA, REPORTER.ID- Nama Cakung sejak tahun 1975 -1980-an terkenal karena dikaitkan dengan gudang Satpol PP DKI Jakarta sebagai tempat penyimpanan barang barang hasil penertiban oleh Satpol PP DKI Jakarta, seperti becak, gerobak, kayu dan atap dari bangunan liar. Dahulu namanya Gudang Dinas Tramtib DKI Jakarta Cakung.
Kemudian untuk pengendalian banjir Jakarta wilayah timur dibangunlah Cakung Drain yang merupakan bagian paling hilir Kali Cakung. Tentu fasilitas tersebut menambah popularitas nama Cakung. Sedang yang berskala nasional adalah dibangunnya Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Sebuah pusat industri produk produk ekspor. Inilah yang kemudian melambungkan nama Cakung ke tingkat internasional berkat majunya perdagangan antarnegara.
Sebenarnya secara kewilayahan penyebutan KBN Cakung itu salah kaprah, sebab secara administratif kawasan itu masuk wilayah Kelurahan Sukapura Jakarta Utara. Namun itu tidak menjadi masalah sebab masih satu wilayah DKI Jakarta.
Nama Cakung sendiri memang berasal dari nama kali di wilayah itu yang bermuara di Marunda yang berasal dari kata Muara Sunda.
Dalam perang kemerdekaan melawan tentara Sekutu dan Belanda, Kali Cakung menjadi garis batas wilayah. Yaitu di sebelah timur Kali Cakung merupakan wilayah Republik Indonesia yang masih belua, sedangkan di sebelah baratnya diklaim sebagai wilayah Tentara Sekutu bersama Tentara Belanda.
Nama Cakung banyak yang menduga berasal dari kata cekung. Sebab wilayah Kecamatan Cakung memang banyak terdapat rawa rawa. Sebut saja Rawa Terate, Rawa Bebek maupun Rawa Badung.
Namun Surya Atmadja (76) warga RT 007/04 Cakung Barat yang senang menjelajah situs situs sejarah dan mendapat julukan Suhu Djadja berpendapat lain.
“Cakung itu dari kata bahasa China yang terdiri dari dua kata. Yaitu dari kata Cha yang artinya daya atau kemampuan dan Kung yang maknanya upaya. Jadi Cha Kung itu berarti daya upaya, nama bentengan yang dibangun Laksamana Lo Khoei Kian dan Laksamana Muda Lo Kian Zhie,” kata Suhu Djadja.
Siapa kedua bersaudara Lo tersebut? Menurut Suhu Djadja mereka berdua dari Mongolia mantan anak buah Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong waktu berlayar menjelajah dunia dalam ekspedisi damai Kekaisaran Ming dari Tiongkok. Tercatat ekspedisi Cheng Ho menjelajah dunia sebanyak 7 kali dari tahun 1405 – 1433 Masehi. Dari 7 kali pelayaran keliling dunia itu 5 kali menyinggahi Nusantara.
Secara kronologis Suhu Djadja didampingi Rusli Rawin, Ketua Sanggar Becak (Betawi Cakung) bertutur.
Kapal Berlabuh di Cakung
Setelah lebih 20 tahun Laksamana Cheng Ho tak kunjung kembali ke Istana di Tiongkok, membuat Kaisar Ming gundah. Lalu ia memerintahkan Laksamana Sam Bo melacak keberadaan Laksamana Cheng Ho di Pulau Jawa.
Maka berangkatlah ekspedisi Laksamana Sam Bo dengan puluhan kapal bersama ribuan anak buahnya ke Nusantara. Sampai di Kamboja mengajak Laksamana Lo Khoei Kian, menantu Syeikh Yusuf dan Laksamana Muda Lo Kian Zhie adik sepupu Lo Koei Kian, keduanya pernah ikut ekspedisi Laksamana Cheng Ho tahun tahun sebelumnya.
Maka berlayarlah Laksamana Sam Bo bersama Lo Khoei Kian dan Lo Kian Zie serta 3 orang lagi yaitu Lo Bun Thong, Lo Ban Tjong dan Lo Ban Theng.
Ekpedisi Sam Bo dan 5 laksamana ini meneruskan berlayar ke Nusantara sampai Pulau Jawa. Adik ipar Lo Koei Kian bernama Hasanudin bin Yusuf ikut dalam pelayaran ini sampai Pulau Jawa.
Hasanudin bin Yusuf itulah kelak menjadi ulama terkenal di Kampung Pulo Bata, Karawang, dengan gelar Syeikh Quro’.
Dari Lo Khoei Kian maupun Lo Kian Zhie selaku mantan pengikut Cheng Ho, didapat informasi keberadaan Laksamana Muslim tersebut berada di Kesultanan Demak Bintoro. Setelah dilacak ternyata Cheng Ho sudah berada di Semarang.
Singkat cerita keenam Laksamana tersebut gagal membujuk Cheng Ho kembali ke Tiongkok karena yang bersangkutan sibuk dengan kegiatan pertanian maupun dakwah agama Islam. Bahkan Cheng Ho menjadi Ulama di daerah Semarang (Sam po lung).
Maka pulanglah Ekspedisi Laksamana Sam Bo tersebut tanpa hasil.
Beberapa tahun kemudian ada kapal besar berlabuh di Marunda. Kemudian masuk perairan rawa rawa ke arah selatan. Penumpangnya sekitar 1.000 orang banyak dari Tiongkok, Kamboja dan Makasar yang sebagian besar muslim. Kapal lewat Sakapura (Sukapura) ke selatan lagi. Di situ penumpangnya yang ternyata dipimpin Laksamana Lo Khoei Kian dan Lo Kian Zhie turun dan bermukim.
Maka tumbuhlah permukiman itu yang disebut Kampung Baru yang semula merupakan hutan pohon aren.
Sekitar Kampung Pulo Aren di bagian barat, utara dan timurnya memang merupakan perairan rawa rawa, di antaranya Rawa Terate, Rawa Rotan yang kini menjadi Rorotan, Rawa Bebek dan Rawa Kuning.
Di Pulo Aren inilah kemudian Laksamana Lo Koei Kian dan Laksamana Muda Lo Kian Zhie bersama anak buahnya pergi ke selatan lagi dan membabat hutan aren untuk permukiman.
Mereka membangun bentengan dari kayu aren untuk berlatih kanuragan. Bentengan tersebut diberi nama Cha Kung. Yang berasal dari bahasa orang orang Tiongkok Mongol. Cha berarti daya dan Kung berarti upaya. Jadi arti kata Cha Kung adakah Daya Upaya.
Itu terjadi pada kurun waktu abad ke-15. Sejak itu menurut Suhu Djadja nama Pulo Aren perlahan menghilang dan muncul nama baru Cha Kung yang kini menjadi Cakung.
“Yang disebut Pulo Aren dulu ya RW 02 Cakung Barat ini. Sebagai buktinya, kalau digali di sini, tanahnya merah karena memang asli daratan,” kata Rusli Rawin penduduk asli setempat.
Di RW 02 itu pula ada makam Laksamana Lo Kian Zhie berdekatan dengan Sanggar Becak. “Makam Laksamana Lo Koei Kian ada di sebelah sana,” kata Rusli menunjuk ke arah seberang timur ujung gerbang tol Cakung.
Lo Kian Zhie beristerikan Mayang Daeng puteri Daeng Para’u seorang ahli pembuat senjata tajam dari Makasar.
Dari perkawinan tersebut Lo Kian Zhie dikaruniai seorang anak laki laki yang diberi nama Daeng Nabirin.
Setelah Mayang Daeng meninggal dunia, Lo Kian Zhie menduda namun tak berapa lama menikah dengan Wenzie puteri Lo Khoei Kian.
Warga keturunan Makasar akhirnya bergeser ke selatan ke sebelah selatan anak sungai Cakung. Maka tempat itu berkembang menjadi Kampung Pedaengan.
Daeng Para’u ketika meninggal dunia dimakamkan di sebelah utara kali.
Itulah sejarah asal mula nama Cakung dan nama nama tempat di sekitarnya. Suhu Djadja mengatakan orang orang asli Cakung banyak dari keturunan Mongol. Begitu pula ilmu bela dirinya maupun bentuk pedangnya banyak mengadopsi budaya Mongol.
Menurut Rusli Rawin, Camat Cakung Salahudin sudah diberikan informasi sejarah toponimi Cakung.
Sementara Lurah Cakung Barat Ridwan Dulhadi pekan lalu berharap agar generasi muda sekarang mempelajari sejarah tempat tinggal atau kotanya. Tentu banyak yang dapat dipetik dari sana untuk kehidupan maupun pembelajaran selanjutnya. (Suprihardjo).