Oleh : Prof. H. Amir Santoso, Ph.D
Ini istilah baru yang mewakili perasaan sebagian publik yang tidak puas terhadap kinerja pemerintah. Maknanya kira-kira: hancurlah semua hal akibat penanganan yang tidak profesional oleh pejabat-pejabat negara.
Yang disorot masyarakat adalah banyak hal, seperti kondisi ekonomi, masalah sosial dan politik, kasus-kasus hukum dan pernyataan pejabat yang cenderung simpang siur. Misalnya, melihat negara kita punya banyak utang, sebagian dari oposisi mewanti-wanti datangnya resesi. Tapi karena pejabat bilang, kita tidak menghadapi resesi, maka respons mereka adalah Ambyaaar. Malahan Sujiwo Tejo menampilkan paduan suara sebagai pelampiasan kejengkelannya terhadap utang negeri ini.
Lalu, soal rencana pelaksanaan pilkada dianggap dipaksakan di tengah situasi pandemi dan PSBB. Banyak pengamat menilai, sepatutnya pelaksanaan pilkada ditunda agar tidak memperluas penularan Covid. Walaupun banyak kritik, namun pilkada tetap akan dilaksanakan. Maka tak heran jika ada yang mengaitkan atau menganalisa hal itu dengan ikut sertanya anak dan/atau menantu pejabat dalam pilkada tersebut.
Namanya analisis ya tentu bisa benar dan bisa salah. Tapi akibat dari kritiknya tidak digubris maka masuk akal jika para pengritik itu menyatakan “Ambyaaar”.
Seorang anggota DPR mengemukakan bahwa prilaku Ketua KPK menggunakan helikopter dianggap sebagai hal biasa, bukan pelanggaran etik. Menurutnya, mungkin Ketua KPK dulu ketika masih bertugas di kepolisian biasa menggunakan helikopter. Karenanya hal itu harus dimaklumi sebagai kebiasaan belaka. Komentar netizen adalah Ambyaar. Soalnya netizen menganggap prilaku pimpinan KPK melanggar aturan internal KPK yang melarang pejabatnya hidup bermewah-mewah apalagi kalau memanfaatkan fasilitas dari pihak lain.
Bersikerasnya DPR membahas RUU Cipta Kerja telah membuat seorang pimpinan KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia) mempertanyakan, apakah DPR itu mewakili rakyat atau pengusaha?
Kita memang tidak tahu persis mengapa DPR berkeras membahas omnibus law yang telah banyak mendapat kritik dari masyarakat. Tapi sikap DPR tersebut telah menyebabkan keraguan publik terhadap komitmen DPR terhadap rakyat. Maka bisa dimaklumi juga bila netizen juga menyatakan Ambyaaar terhadap masalah ini.
Ketika seorang pejabat gemar menyatakan adanya bahaya khilafah bahkan menyatakan bahwa virus radikalisme dan intoleransi dibawa oleh santri yang goodlooking, sebagian netizen menyambutnya dengan Ambyaaar. Akibatnya ketika pejabat tersebut diberitakan terpapar Covid-19, muncul tulisan di medsos : pastilah itu Virus Radikal.
Itu sekedar beberapa contoh yang menyebabkan sebagian dari kita menyatakan Ambyaar saat melihat respons pemerintah termasuk DPR dalam menyikapi tuntutan publik. Sebab sebagian tuntutan publik tersebut memang dirasakan sebagai benar-benar kepentingan rakyat.
Maka untuk mengurangi reaksi Ambyaar tadi sudah seharusnya pemerintah dan DPR lebih peka terhadap tuntutan rakyat. Memang tidak semua tuntutan rakyat bisa dan boleh diterima serta dijadikan kebijakan publik. Tapi setiap penolakan mestinya disertai alasan yang jelas, supaya rakyat dapat memahami dan tidak memberikan reaksi Ambyaar. (Rektor Universitas Jayabaya Jakarta)