Prof. Djo Tegaskan, Pjs Kepala Daerah Tak Boleh Bikin Program Sendiri

oleh
oleh
Prof. Djohermansyah Djohan.

JAKARTA, REPORTER.ID – Kemarin para petahana yang maju pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak, 9 Desember mulai melakukan kampanye sampai dengan 5 Desember atau selama 71 hari. Jabatan para petahana ini digantikan oleh Pejabat sementara (Pjs).

Naun sejauh mana sesungguhnya, kewenangan Pjs kepala daerah ini, Pakar Otonomi Daerah (Otda), Prof.Dr. Djohermansyah Djohan dihubungi, Senin (28/9/2020) menguraikan secara detail, seperti apa pemerintahan oleh pejabat sementara ini.

Guru Besar IPDN yang juga Dirjen Otda 2010-2014 ini mengatakan, pada masa kampanye pejabat incumbent (petahana) wajib cuti di luar tanggungan negara agar fokus memasarkan programnya kepada pemilih. Dan hal ini sekaligus guna mencegah petahana melakukan ‘abuses of power’ seperti, politisasi birokrasi, memakai fasilitas negara, menyelewengkan program, menjual perizinan, minta fee tender barang dan jasa, memeras pengusaha, dan menekan lurah/kepala desa.

“Prinsipnya untuk mencegah kecurangan dan menegakkan pilkada yang jujur dan adil. Selama cuti kampanye petahana ‘off’ dari jabatan. Tidak masuk kantor, keluar dari rumah jabatan, tidak menerima gaji dan fasilitas berupa kendaraan dinas, komputer, dan ajudan,” katanya.

Sesuai dalil ‘no vacuum of power’, lanjut Prof. Djo sapaan mantan Dirjen Otda Kemendagri ini, selama petahana cuti diangkat penjabat sementara (Pjs) kepala daerah dari ASN yang memenuhi syarat. Pjs gubernur diambil dari eselon I pusat, biasanya dari Kemendagri. Sementara untuk Pjs bupati/walikota dipilih dari eselon II pemerintahan provinsi.

“Para Pjs ini haruslah orang-orang terbaik, tidak punya cacat, dan berpengalaman luas di pemerintahan. Sebaiknya jangan keluar dari pakem itu, misalnya Pjs bupati/walikota didrop dari pusat, atau Pjs Gubernur diambil dari tentara/polisi,” urainya.

Tentang kewenangannya sesuai Permendagri No 74/2016 jo No 1/2018 Pjs kepala daerah berwenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah, menetapkan perda, memutuskan APBD induk maupun perubahan, bikin mutasi jabatan seizin Mendagri, memimpin Forkopimda, memimpin Satgas Covid-19, dan melaksanakan tugas-tugas dari Pusat.

“Jadi, kekuasaan Pjs sama persis dengan kekuasaan kepala daerah definitif. Bedanya, Pjs diangkat pusat sedangkan kepala daerah definitif dipilih rakyat, dan karena itu legitimasinya kuat. Namun tugas terpenting dari seorang Pjs ini hanya ada dua saja. Pertama, menjalankan roda pemda sehari hari. Kedua, menjaga agar pilkada masa wabah yang belum melandai ini bisa berjalan dengan aman dan lancar serta jujur dan adil,” sebutnya.

Melanjutkan pernyataannya, Prof. Djo mengatakan agar kluster pilkada yang dikhawatirkan publik jangan sampai terjadi, dan ASN bisa netral. Para Pjs ini juga harus pandai membagi waktu antara mengurus daerah dan mengurus SKPD yang dipimpinnya mengingat dia merangkap jabatan.

“Selain itu, Pjs tidak boleh membuat programnya sendiri. Dia hanya bertugas melaksanakan program petahana yang lagi cuti kampanye. Apa lagi bila Pjs merekayasa proyek baru untuk cari duit, atau terseret kasus jual beli jabatan,” ujarnya.

Terakhir, seorang Pjs dari ASN diharapkan tidak hanya cakap perkara teknokrasi pemerintahan, tapi mesti juga punya ‘sense of politics’ untuk mengatasi konflik pilkada, dekat dengan pers, dan pandai bergaul dengan seluruh lapisan masyarakat, demikian Prof. Djohermansyah Djohan. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *