Salus Populi Suprema Lex  Esto

oleh
oleh

Oleh : Zainal Bintang

 

Jadwal Pilkada Serentak 9 Desember 2020 direcoki kebisingan pro dan kontra. Pemerintah dalam hal ini presiden Jokowi melalui juru bicaranya Fadjroel Rahman dengan tegas menolak Pilkada ditunda! Sementara  sejumlah tokoh ormas besar Islam  seperti NU dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) plus JK (Jusuf Kalla) meminta Pilkada serentak ditunda.

Pemerintah beralasan  akan terjadi kekosongan pemerintahan di daerah apabila Pilkada ditunda karena banyak pejabat  yang akan  berakhir masa jabatannya.

Berdasarkan  Data Satuan Tugas Penanganan Covid 19, Jumat (25/09/20) jumlah pasien positif  Covid 19  sebanyak 266.845 orang. Penambahan 4.823 kasus. Kesembuhan mencapai 196.196 orang. Meninggal sebanyak  10.218 orang. Grafik  korban pasien positif Covid 19  melaju setiap hari.

Pada saat yang sama  kualitas layanan  petugas  maupun fasilitas kesehatan  sangat  kewalahan. Inilah yang mendorong ungkapan filsuf Romawi kuno Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM) : “Salus Populi Suprema Lex  Esto” (Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi) dikutip  oleh siapa saja, ditulis dimana – mana dan viral kemana – mana.

Pelaksanaan Pilkada serentak 2020 tidak hanya  sebagai agenda  rutin politik tapi juga berfungsi menjadi lokomotif penggerak ekonomi di tengah masyarakat. Tapi gawe Pilkada saat ini cukup dilematis. Terperangkap kasus pandemi  Covid 19 yang meningkat  setiap hari. Sesuai  kodratnya  sebagai pesta demokrasi lima tahunan, proses Pilkada sejak dari tahapan pendaftaran sampai pencoblosan   memastikan adanya  kerumunan massa pendukung para kontestan. Pilkada  serentak secara nasional  pertama kali digelar 9 Desember 2015.

Dan ironisnya perhelatan demokrasi itu sekaligus menjadi bursa  transaksi jual – beli suara masyarakat  kepada kandidat melalui jasa tim sukses atau relawan. Bukan rahasia umum terjadinya operasi  “serangan fajar”  praktik politik  uang (money politics) untuk memastikan  keterikatan suara calon pemilih.  Itu bagian  kecil dari skenario besar  pragmatisme politik yang membudayakan percukongan : menyandera kandidat terpilih  memikul beban kewajiban, untuk  memberikan kompensasi kemudahan perizinan dan lisensi kepada cukong yang mendanai biaya kandidat : sejenis  “success fee”.

Sebuah media cetak ibukota Kamis pagi (24/09/20) memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim (90)  yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mundur, partai politik kehilangan legitimasinya, kekritisan pers dan media yang dalam ancaman, pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK, serta demokrasi berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya  sebagai “demokrasi cukong”. Mantan Menteri Lingkungan Hidup era Soeharto itu menjadi salah seorang pembicara di dalam suatu acara peluncuran buku.

Istilah cukong itu sinonim dengan kata oligarki yang suka disebut  Jeffrey A.Winters (60). Ilmuwan politik Amerika di Northwestern University itu mengkhususkan diri dalam studi oligarki.

Demokrasi di Indonesia, kata Winters, yang bertujuan untuk memeratakan kekuasaan dan ekonomi nyatanya justru berjalan di arah yang sebaliknya. Ia menilai demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat.

Winters yang telah banyak menulis tentang Indonesia dan tentang oligarki di Amerika Serikat melanjutkan, terlihat dengan makin dalamnya jurang antara si kaya dan si miskin di Indonesia. Konsentrasi kekayaan meningkat dan ketimpangan meningkat. Indonesia jauh lebih merata antara yang kaya dan miskin pada 1945 daripada sekarang. Apa yang salah?  Padahal partisipasi rakyat minimal harus membawa lebih banyak kemakmuran. Kenapa ini tidak terjadi? Yaa itu tadi, karena oligarki dan elite di Indonesia  sudah menguasai sistem demokrasi dan mengontrol sehingga Indonesia punya “oligarki demokrasi”. Winters adalah pengarang buku “Oligharcy” (2011) yang memenangkan Luebbert Award dari Asosiasi Ilmu Politik Amerika (2012) untuk “buku terbaik” dalam perbandingan  politik. 

Kembali kepada “sengketa” jadwal Pilkada yang terjadi  pada  saat posisi demokrasi yang  dilematis ini,  state actor (pejabat negara)  justru berkonfrontasi dengan  non state actor  (masyarakat sipil). Memperdebatkan model solusi mitigasi atas  ancaman  nyawa rakyat akibat  transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada.

Penyelenggara  tetap ngotot Pilkada jalan terus. Hantu kekosongan pemerintahan  di daerah jadi alasan tambahan. Dikarenakan banyak  kandidat  yang akan berakhir masa jabatannya. Dan itu  memerlukan  legitimasi baru. Sebagai Pjs (Pejabat Sementara)  posisi itu tidak memiliki kewenangan  membuat kebijakan. Hal  mana akan menghambat program pembangunan. Regulasi kampanye secara virtual (daring) dijanjikan disiapkan  untuk mengganjal tradisi kerumunan.

Kebutuhan belanja para kandidat untuk pernak pernik seperti alat peraga, berbagai format sosialisasi, lembaga survei, operasional tim sukses dan relawan plus harga tiket rekomendasi beberapa partai politik termasuk dana “serangan fajar”,  jumlahnya cukup besar. Merujuk  informasi mutakhir KPU telah menerima pendaftaran sebanyak 741 paslon (pasangan calon) di seluruh Indonesia. Meliputi 270 daerah dengan rincian  25 paslon 9 di propinsi ; 224 di Kabupaten dan 37 di Kota. Dari jumlah  itu ada  25 kabupaten/kota yang menggelar pilkada dengan satu paslon calon. Melibatkan 105 juta orang pemilih yang akan mendatangi kurang lebih 312 ribu TPS (Tempat Pemungutan Suara).

Sebuah asumsi obrolan warung kopi, – jika itu memang benar , – menyebutkan dana yang harus dikeluarkan setiap kandidat mencapai antara 35 – 50 miliar dikonversi 741 paslon, total uang yang berputar mencapai 35 triliun – 50 triliun. Jika merujuk teori  ekonomi angka itu dilipatkan dua kali  jumlah  dana yang akan beredar mendekati 100 triliun.

Katakanlah hanya setengah dari jumlah itu yang kejadian yaa tetap besar :  50 triliun! Ia merupakan mesin besar penggerak ekonomi pandemi. Bagi pemerintah anggaran tahapan Pilkada sebesar itu harus ditangkap  untuk dijadikan  agregator perputaran roda ekonomi masyarakat yang mandek selama pandemi.

Persolannya terpulang kepada kapasitas kemampuan dan kesiapan organisasi negara mengendalikan kerumunan agar tidak terjadi ledakan klaster baru. Pemerintah harus cermat menghitung sebelum melangkah. Karena taruhannya  keselamatan jiwa rakyat  yang mutlak dilindungi sesuai amanat konstitusi.

Banyak kalangan memperingatkan, mempertaruhkan  nyawa rakyat untuk  kepentingan  politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan : crimes against humanity!

Mari kita baca kembali ucapan Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo di twitternya yang viral 28 Maret yang lalu terkait sikap tegasnya melockdown negaranya menghadapi wabah Covid19. 

“Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati (We know how to bring the economy back to life, What we do not know is how to bring people back to life),’’ kata Akufo-Addo

“Terima kasih atas pesan kuat untuk dunia saudaraku Akufo Addo Presiden Ghana. Bersama untuk menciptakan dunia yang lebih sehat, aman, dan adil. Bersama untuk melawan Covid 19,” Kata Dirjen WHO Ghebreyesus mengapresiasi ucapan presiden Ghana di twitternya.

Ghana adalah negara kulit hitam Afrika pertama yang merdeka dari Britania Raya 1957. Sebutan  negeri itu sebagai  “Pesisir Emas” memang terpantul dari sikap presidennya yang berhati “emas”.

Pada layar WhatsApp saya, ada  tulisan cukup menggelitik : di Ghana  tidak ada hiruk pikuk kampanye Pancasila setiap hari lho! (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)

Tentang Penulis: hps

Gambar Gravatar
Wartawan senior tinggal di Jakarta. hps@reporter.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *