1 Oktober 1923: Pertemuan Bung Karno-Marhaen

oleh
oleh
Bung karno bersama rakyat kecil.
Jacobus Mayong Padang.

HARI ini, 1 Oktober, sebuah hari yang bersejarah buat bangsa ini. Bukan hari Kesaktian Pancasila karena Pancasila belum sakti. Sakti kalau SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan), tidak dimainkan lagi di panggung politik, kalau orang beribadah tidak terganggu lagi, buruh tidak lagi diupah rendah, lagi dan lagi, dan kalau tidak ada lagi kaum Marhaen yang tergusur dari tanahnya.

1 Oktober bersejarah karena 97 tahun silam, pagi terik pukul 10 kurang 21 menit Bung Karno dengan pakaian rapi, sepatu mengkilat memarkir sepedanya di sebuah pondok. Mahasiswa ITB itu berjalan meniti pematang, menemui seorang petani yang sudah mandi keringat karena ia memang sejak pagi-pagi sebagaimana lazimnya petani sudah memainkan cangkulnya di tengah sawahnya. Dan itu pasalnya, ditambah terpaan mentari pagi, maka mengucurlah keringat membasahi tubuhnya.

Ada banyak makna yang mesti dikisahkan dan dicerna dari pertemuan dua anak manusia yang berjarak sosial amat jauh itu. Bukankah Bung Karno seorang ningrat sedang Marhaen hanyalah jelata. Bung Karno yang juga dipanggil Kusno seorang mahasiswa, hal yang masih langka di zaman itu, sementara Marhaen yang nama aslinya Mang Aen buta huruf. Masih banyak jarak lainnya yang amat jauh. Pakaian mereka berdua jelas menjelaskan berapa mereka sangat berbeda jauh secara lahiriah. Tetapi kita tinggalkan dulu semua itu. Lain kali di waktu yang senggang dan bila kopi tersedia kita kupas lebih jauh dan lebih dalam.

Yang penting terlebih dahulu, kenapa pertemuan itu penting?

Indonesia Menggugat

Membaca dan mencermati Indonesia Menggugat pledoi Bung Karno, Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja dan Soepriadinata di depan Landraad ( Pengadilan) Bandung, sekarang GIM (Gedung Indonesia Merdeka). Dalam pledoi yang disusun Bung Karno di sel 2 x 1,5m dengan bahan yang disuplai PANTAS Inggit Garnasih secara rahasia itu, jelas, Bung Karno sangat emosional mengurai kondisi hidup kaum Marhaen. “Dan bukan di dalam perusahaan gula saja kita dapatkan upah yang paling rendah atau ‘minimumloonen’ itu. Upah minimum di Indonesia kita dapat di mana-mana”. “Selama itu maka RAKYAT yang kelaparan itu tentu terpaksa menerima saja upah-upah yang bagaimanapun juga rendahnya, ‘buat menolak maut” . Itu hanya salah satu ucapan emosional Bung Karno yang diucapkan dengan lantang, tanpa keraguan di depan hakim pemerintah kolonial.

Mengapa Bung Karno begitu emosional? dan mengapa ia begitu lantang?

Itulah luapan dari sebuah rasa iba dan marah. Dan itu bermula dari tengah sawah di Cigereleng. Bung Karno tidak tahan menyaksikan keringat Mang Aen yang terus mengucur, dan tanpa ada limit, harapan kondisi hidupnya bisa berubah. Saat itu, di pagi yang terik, berbekal teknik yang sedang di dalaminya yang mendasarkan kemampuan rekayasa untuk sebuah capaian, Bung Karno membathin; satu-satunya jalan untuk mengubah kehidupan Marhaen agar lebih baik: Indonesia harus Merdeka.

Inilah pentingnya 1 Oktober bagi bangsa Indonesia, secara spirit, idea, hasrat, Indonesia lahir dalam pertemuan kaum elit yang diwakili Bung Karno dan RAKYAT jelata, kaum Marhaen, kaum yang mayoritas mendiami Nusantara yang diwakili Mang Aen.

Dalam pertemuan yang berlangsung hampir sejam itu, tanpa kopi dan rokok apalagi penganan, kedua insan yang berjarak jauh secara sosial tetapi menyatu secara rasa manusia, dan mewakili kaumnya, membuat MoU; Bung Karno akan mewakafkan segala daya terdidik nya untuk memerdekakan, dan Marhaen menyumbangkan segala daya apapun yang ada padanya untuk menopang usaha pemerdekaan. Atas dasar MoU itulah Bung Karno tanpa keraguan sedikit pun berbicara lantang di depan pengadilan kolonial. Mereka berempat bahkan tidak perduli ancaman hukuman. Bung Karno sedikit pun tidak ciut ketika pemerintah kolonial mengasingkannya begitu jauh ke Ende dan Bengkulu. Di atas kereta yang membawanya ke Surabaya ia menatap kaumnya di tengah sawah, di kebun sedang memanggul tebuh, dan di pelabuhan sedang memanggul barang yang sudah pasti dengan upah yang sangat rendah. Lalu pikirannya kembali ke Cigereleng yang sudah jauh.

Atas dasar MOU di Cigereleng itu pulalah RAKYAT menyediakan rebus pisang dan singkong bagi pasukan Sudirman saat bergerilya dan juga bagi semua pasukan pejuang kemerdekaan di seluruh tanah air tanpa bayar.

Bandung Bersejarah, Institut Marhaen

Sayangnya sekarang banyak kaum elit yang mengkhianati MoU Cigereleng itu. Mereka kata Gubernur Lemhanas Agus Wijoyono ( maaf saya tidak menuliskan pangkatnya krn atas pertanyaan saya tentang seorang jenderal, beliau menjawab dia bukan jenderal karena sudah pensiun, ia sekarang warga sipil sama dengan saya) Usman Hamid Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Dr. J. Kristiady pengamat politik, Dr. Jerry Massie, Direktur Eksekutif P3S dan Eduard Lemanto yg sedang kuliah S3 di Moskow, sedang menikmati kekuasaan sementara RAKYAT begitu banyak yang hidup sengsara.

Itu mereka sampaikan dalam webinar yg dilaksanakan P3S Selasa 29 September yang diikuti ratusan peserta dalam dan luar negeri.

Itulah sebabnya tahun lalu di GIM Bandung, Bandung Bersejarah bekerja sama Institut Marhaen mengadakan peringatan pertemuan Bung Karno – Marhaen. Maksudnya untuk menyegarkan ingatan semua, terutama elit bangsa, bahwa ada MoU Cigereleng yang terabaikan. Buktinya, seminggu lalu saya didatangi 5 orang mewakili ratusan petani dari Karangan Kutai Timur yang mengaku tanah mereka di serobot. Dan itu hanyalah salah satu kasus pertanahan dan bukan satu-satunya masalah yang sedang dialami berjuta-juta Marhaen di negeri ini. ***

Penulis: Jacobus K. Mayong Padang (Pendiri Institute Marhaein, dan mantan Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI 1999-2004)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *