Tolak Rencana Aksi Mogok Nasional, K-Sarbumusi Sudah Beri Masukan ke Pemerintah

oleh
oleh
Wakil Presiden K-Sarbumusi, Sukitman Sudjatmiko.

JAKARTA, REPORTER.ID – Wakil Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Sukitman Sudjatmiko menyatakan menolak adanya Mogok Nasional pada tanggal 6-8 Oktober 2020 dalam kerangka pembahasan draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), khususnya kluster Ketenagakerjaan yang rencananya akan disahkan dalam masa sidang ke-1 Tahun Sidang 2020-2021 yang nantinya disahkan menjadi Undang-Undang, dengan berbagai dinamika yang terjadi saat ini baik Pemerintah dan DPR sudah sedemikian maksimal melibatkan serikat pekerja/serikat buruh.

“Kita sudah memberikan masukan kepada Pemerintah dan konfederasi Sarbumusi terlibat aktif dalam tim tripartit yang mengakomodir masukan-masukan dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh, masukan ini juga sudah diberikan baik kepada Pemerintah maupun kepada DPR, sehingga kita berharap akan menjadi bagian dari substansi draf RUU Ciptaker, kususnya kluster Ketenagakerjaan,” kata Sukitman melalui keterangan persnya, Sabtu (3/10/2020).

Karena dia melihat, Pemerintah berupaya sungguh-sungguh untuk mengakomodir dan berupaya maksimal melibatkan serikat buruh, dan ini terlihat dengan adanya perubahan pembaharuan draft RUU Ciptaker kluster Ketenagakerjaan yang diusulkan oleh Pemerintah ke DPR. Menurut Sukitman, sepanjang pembahasannya di DPR nanti dilakukan secara transparan dan melibatkan seluruh stake holder dari kelompok buruh, tidak ada masalah.

“Advokasi yang kami lakukan sudah melalui jalan panjang, dengan melakukan kajian kritis, kirim surat massal bersama, loby-loby, audiensi ke pemerintah, DPR termasuk publikasi media sampai dengan masuk terlibat dalam tim tripartit untuk menyuarakan usulan substansi kluster Ketenagakerjaan, dan proses perjuangan itu saat ini sedang kita kawal terus agar sesuai dengan harapan pekerja/buruh Indonesia,” ujar Sukitman.

Dalam konteks mogok kerja, menurut Sukitman, hal itu tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 3003 tentang Ketenagakerjaan, karena mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan dilakukan secara sah, tertib dan damai serta yang terpenting diakibatkan karena gagalnya perundingan, dan ini bukan hak yang bersifat absolut akan tetapi bersifat limitatif artinya ada mekanisme dan prosedur yang harus dilakukan, mogok kerja akibat gagal perundingan yang dilakukan untuk menghentikan proses produksi dan bersifat kedalam perusahaan bukan kepada kebijakan pemerintah.

“Yang dikhawatirkan mogok nasional ini, apabila berdampak pada upah yang tidak dibayar oleh pengusaha dan lebih jauh berdampak pada terjadinya PHK besar besaran kerana akibat dari mogok nasional yang dikatagorikan unjuk rasa dalam menciptakan lapangan kerja sudah seharusnya disertai pula upaya,” sebutnya.

Sedang dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu akibat dampak pandemi virus corona atau Covid-19 yang terus meningkat penyebarannya, perlindungan kesehatan melalui protokol kesehatan dan kelangsungan bekerja wajib menjadi perhatian dan perlindungan yang maksimal bagi serikat pekerja/serikat buruh yang ada, perlindungan kesehatan dan kelangsungan bekerja harus menjadi prioritas utama, jangan sampai unjuk rasa/mogok nasional ini menjadi kluster baru penyebaran covid 19 yang tentunya pekerja/buruh dan keluarganya yang dirugikan, demikian ditegaskan Sukitman. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *