Oleh Zainal Bintang
Sidang paripurna DPR RI Senin (05/10/20) akhirnya berhasil mengesahkan UU tentang Cipta Kerja yang diformat dalam frasa Omnibus Law. Ini membuktikan betapa perkasanya kekuatan koalisi 7 parpol pendukung pemerintah di parlemen : tidak tergoyahkan. Mengulang sukses UU sebelumnya seperti revisi UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), revisi UU MK (Mahkamah Konstitusi) yang memberi hadiah perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga 15 tahun dan melancarkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 9 September.
Prosesnya yang sangat singkat dan cepat membuka anggapan adanya operasi “senyap” pemerintah dan DPR. Demokrasi modern berbasis rezim suara terbanyak, memang memberikan kekuatan posisi politik kepada pemerintah bersama partai politik pendukungnya untuk memuluskan UU demi UU sesuai dengan design kesepakatan.
Hanya saja jalan tol yang diberikan oleh model perkoalisian yang demikian tetap saja diperlukan terpenuhinya persyaratan dasar yaitu maksimalisasi partisipasi publik. Jika tidak, politik koalisi atau koalisi politik yang tidak memenuhi persyaratan dasar itu, untuk jangka panjang tidak sehat bagi proses demokratisasi. Terutama, ia harus dibebaskan dari anasir dominasi semangat “mumpung” sedang berkuasa dan mumpung sedang mayoritas
Bahwa di dalam diri UU Cipta Kerja memiliki sejumlah instrumen hukum yang mempermudah masuknya investasi besar berskala transnasional untuk merealisasi kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, – sesuai amanat salah satu Pancasila itu – tidak perlu dibantah. Pasti sepakat seluruh elemen bangsa ini. Bahwa penyebabnya karena sebelumnya telah dilahirkan sejumlah UU yang pada kenyataanya tumpang tindih satu sama lain, iyaa. Bahwa oleh karenanya telah menjadi penghalang terciptanya kesejahteraan yang melekat di dalam semangat demokrasi, iyaa.
Akan tetapi tumpukan kekisruhan UU masa lalu itu tidak boleh dijadikan semacam tiket bebas hambatan untuk melahirkan UU baru yang melabrak prinsip dasar musyawarah mufakat. Kehadiran UU Cipta Kerja itu yang menimbulkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat, terutama kalangan buruh dan pekerja, memperlihatkan kurang sempurnanya elemen dasar proses penggodokannya.
Langkah ketergesagesaan yang diperlihatkan pemerintah dan DPR menguatkan kecurigaan publik yang menengarai adanya “penyelundupan” pasal yang merugikan kalangan buruh dan menguntungkan kalangan pengusaha.
Tingginya daya penolakan yang dihadang dengan tingginya tekanan pemulusan oleh pemerintah dan DPR, menunjukkan tidak tersemangatinya prinsip transparansi, check & balances serta fair play yang dipersyaratkan oleh sebuah hakekat demokrasi.
Sebegitu jauh belum dapat diketahui dengan pasti faktor apa yang mendorong proses penggodokan UU Omnibus Law harus menafikan akomodasi yang sebesar – besarnya bagi partispasi publik. Pihak pemerintah dan DPR kemungkinan tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa dengan bermain – main dibalik kekuatan “suara” terbanyak yang disediakan oleh instrumen demokrasi, sesungguhnya telah berbalik menjadi pembunuh demokrasi atas nama demokrasi.
Terkait dengan hal itu, penting membaca ulang buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt : How Democracies Die : What History Reveals About Our future (Bagaimana Demokrasi Mati: Apa Yang Diungkapkan Sejarah Tentang Masa Depan Kita. Buku dari dua Profesor Pemerintahan di Universitas Harvard itu dirilis 12 Desember 2018.
Mereka mengatakan : Terkadang demokrasi mati dengan keras ; kudeta yang menjatuhkan pemerintah ; pawai ke ibu kota saat darurat militer diberlakukan dan media pemerintah diambil alih! Inilah yang biasanya terjadi dalam film dan program televisi. Dengan cepat dan tegas. “Tetapi lebih sering, demokrasi mati perlahan. Secara kasat mata, di tangan pejabat terpilih. Melalui erosi bertahap dari norma dan institusi politik”.
Kedua ilmuwan politik itu berpendapat : “sejarah tidak terulang, ia berirama. Dengan memeriksa sejarah dan melihat polanya, kita dapat menemukan rambu-rambu yang menandai otoritarianisme yang merayap – ancaman terhadap check and balances yang seharusnya mencegah pemilihan demagog”. Lebih jauh dikatakan “kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara. Empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah : penolakan (atau komitmen yang lemah untuk) aturan permainan yang demokratis ; penolakan legitimasi lawan politik ; toleransi atau dorongan kekerasan ; kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media”.
Levitsky dan Ziblatt memberikan contoh dari sejarah tentang bagaimana bertindak dalam kasus seperti ini. “Kadang-kadang anda harus bekerja dengan orang-orang yang secara ideologis berlawanan dengan anda untuk mempertahankan cita-cita demokrasi, seperti yang terjadi di Belgia dan Finlandia pada tahun 1930-an, demikian kami diberitahu”.
Mengingat iklim politik saat ini, kebangkitan global dalam partai-partai ekstremis populis dan hiper-nasionalisme, buku ini menjadi pengingat tepat waktu bahwa demokrasi tidak selalu mati dalam kegelapan. Terkadang mereka mati dengan lampu menyala, oleh orang-orang yang dipilih melalui cara-cara demokratis. Tetapi dengan mempelajari sejarah kita dapat memperoleh wawasan tentang langkah-langkah yang dapat kita ambil masing-masing untuk melindungi hak-hak demokrasi kita.
“Melindungi demokrasi kita membutuhkan lebih dari ketakutan dan kemarahan. Kita harus rendah hati dan berani. Kita harus belajar dari negara lain untuk melihat tanda-tanda peringatan, dan mengenali tanda peringatan palsu. Dan kita harus melihat bagaimana warga negara telah bangkit untuk menghadapi krisis demokrasi besar di masa lalu, mengatasi perpecahan yang mengakar untuk mencegah kehancuran,” ujar Levitsky dan Zilbatt.
Ezra Klein (36) jurnalis, penulis blog, dan pengamat politik Amerika Serikat, yang pernah mewawancarai Levitsky dan Ziblatt untuk podcastnya, mengatakan, ada gambaran yang muncul di benak kita saat kita membayangkan akhir demokrasi. Demokrasi jatuh dalam kudeta dan revolusi, terbakar api dan kerusuhan, runtuh di tengah perang dan wabah. Saat mereka mati, mereka mati sambil berteriak. Menurut Klein “tidak lagi” bagi Levitsky dan Ziblat dalam buku “How Democracies Die”.
Klein yang sebelumnya seorang penulis blog dan kolomnis The Washington Post dan editor yang terafiliasi dengan The American Prospect itu , melanjutkan, dalam kebanyakan kasus modern, demokrasi terkikis perlahan, dengan langkah yang nyaris tidak terlihat. Klein menambahkan : “Mereka membusuk dari dalam, diracuni oleh para pemimpin yang merusak proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Mereka dilubangi, perangkap demokrasi hadir lama setelah jiwa sistem dipadamkan”.
Tanggapan publik di berbagai media, mayoritas menyebutkan UU Cipta Kerja itu merugikan pekerja. Pemerintah dan DPR bersikukuh menyebut UU itu akan memperlancar masuknya investasi berskala besar ke Indonesia.
Pemerintah menawarkan jalan keluar, kepada yang menolak UU itu dapat menggugat melalui uji materi ke MK (Mahkamah Konstitusi). Sejumlah pakar hukum mengatakan model Omnibus Law tidak dikenal di dalam sistem hukum di Indonesia dimana satu UU baru dibentuk untuk menyederhanakan sejumlah UU lainnya, dalam konteks ini disebutkan ada 72 UU yang diperas paksa menjadi satu.
Pasalnya, pada faktanya UU Cipta Kerja itu tidak hanya terbatas bekerja di wilayah ketenagakerjaan, tapi malah merangsek masuk ke substansi lain. Memasuki sektor seperti, tata ruang, tenaga nuklir, hak adat, soal imigrasi, hak paten, produk halal. Hal mana membuat UU itu berwatak etatisme. Suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Menjadikan segalanya akan berada di bawah kontrol secara ketat dengan menggunakan instrumen kekuasaan. Meniscayakan resentralisasi yang berkarakter kapitalistik. Ini yang menjelaskan mengapa UU itu dianggap lebih menguntungkan kalangan pemodal atau pengusaha besar alias kapitalis.
Secara substansial postur etatisme itu lebih memperlihatkan semangat sebagai demokrasi elitis. Kebalikan dari demokrasi partisipatoris yang menghargai dan menghormati hak – hak demokrasi dengan membuka partisipasi publik seluas – luasnya sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat.
Katakanlah pemerintah dan DPR saat ini memang berhasil “memenangkan” pertarungan politik di parlemen melalui metode voting dengan senjata pamungkasnya yang bernama suara terbanyak. Palu sudah diketuk. Nasi sudah jadi bubur. Dan kegaduhan sudah tersulut. Unjuk rasa merebak di banyak daerah. Isunya bergeser menjadi “mosi tidak percaya kepada pemerintah dan DPR”.
Namun demikian, untuk jangka panjang, sejauh pola ini selalu dijadikan palu godam pemukul untuk kepentingan subjektif jangka pendek (politis) , maka ia adalah racun yang pelan – pelan akan membunuh demokrasi dan melumpuhkan tubuh sebuah bangsa.
Sebuah tragedi yang dapat dianalogikan dengan legenda “Malinkundang”. Sang anak yang sukses dan kuat itu, malah mendadak lupa akan ibu kandungnya. Ibu yang menyebabkannya hadir di bumi ini : Di bumi Pancasila, di dalam mana marwah musyawarah mufakat menjadi mercu suar demokrasi! (Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya)