JAKARTA, REPORTER.ID – Yenny Wahid menilai banyak orang yang takut secara berlebihan terhadap komunisme, padahal mereka tidak memahami apa itu komunisme yang sesungguhnya. Komunisme sendiri tidak statis, tetapi dinamis, seperti Rusia dengan mayoritas penduduk beragama Kristen Ortodoks dan China yang diprediksi akan menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia pada tahun 2050, sehingga menghapus stigma bahwa komunisme anti terhadap agama.
“Komunisme sesungguhnya sudah bangkrut karena gagal memahami karakteristik dasar manusia dengan hasrat dan ambisinya. Di Indonesia sendiri, PKI telah menjadi bagian dari sejarah masa lalu yang tidak mungkin bangkit lagi. Isu PKI yang masih bergulir sekarang ini hanya untuk konsolidasi politik. Sebagaimana dulu, isu PKI pernah menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Soeharto menjadi presiden,” demikian Yenny Wahid.
Hal itu disampaikan Yenny Wahid dalam diskusi webinar bertajuk “Tragedi G30S dan Rekonsiliasi ala Gus Dur” pada Rabu (7/10) malam, yang digelar oleh Konsorsium Kader Gus Dur (KKGD). Webinar diikuti ratusan peserta dengan Keynote Speaker Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid (Ketua Umum KKGD). Menghadirkan pembicara AS Hikam selaku mantan Menristek Era Presiden KH. Abdurrahman Wahid dan Zastro al-Ngatawi selaku asisten pribadi Gus Dur.
Menurut Yenny, semua adalah korban peristiwa masa lalu itu. “Bangsa ini adalah korban. Karenanya, kita harus menempuh jalan rekonsiliasi yang sudah digagas oleh para kiai dan diperjuangkan secara gigih oleh Gus Dur. Sehingga jangan mudah terprovokasi. Baik dengan isu revolusi politik maupun isu agama. Pembantaian yang terjadi di masa lalu itu, masih mungkin terjadi lagi. Ini yang harus kita antisipasi bersama,” pungkasnya.
Mengutip Gus Dur yang mencabut Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR) no 25 tahun 1966 soal PKI, AS Hikam mengatakan menurut Gus Dur, PKI bukan sesuatu yang menakutkan. Begitupun dengan G30S/PKI, tragedi tersebut bagian dari sejarah dunia yang tidak dapat diingkari.
Karena itu, G30S/PKI tidak boleh dijadikan alat untuk menakut-nakuti masyarakat sebab sejarah bisa menjadi pelajaran penting untuk warga bangsa supaya menemukan solusi terbaik. Masyarakat tidak boleh takut, atau menakutkan PKI atau justru malah menjadikan PKI untuk menakut-nakuti bangsa Indonesia.
“Karena tragedi itu fakta sejarah yang tidak dapat diingkari adanya, tetapi memang perlu dicarikan solusi dalam rekonsiliasi bagi bangsa Indonesia. Bagi kemajuan bangsa dan bagi kelestarian kita sebagai bangsa,” kata Hikam.
Hikam minta masyarakat tidak boleh terjebak upaya-upaya politisasi dan ideologisasi PKI yang dilakukan oleh siapapun. PKI sebaiknya dihadapi sebagai sejarah bangsa sama halnya seperti sejarah bangsa di negara-negara lain misalnya saja tragedi Nazi di Jerman tahun 1960-an.
“Seperti kata filsuf George Santayana yang mengatakan, siapa pun manusia yang tidak mau belajar sejarah dia akan dikutuk untuk melakukannya kembali. Jadi sejarah itu harus dipelajari seksama dan dipakai untuk memperbaiki keadaan, jangan sampai terulang lagi,” katanya.